BAB
I
PENDAHULUAN
a. LATAR
BELAKANG
Manusia adalah makhluk Tuhan yang memiliki
demensi dinamika, oleh sebab itu eksistensi dinamika harus bersifat dinamis.
Bersikap eksistensi bagi manusia berarti mengadakan dirinya secara aktif.
Bereksistensi adalah merupakan merencanakan, berbuat dan menjadi.
Permasalahanya adalah manusia bereksistensi untuk menjadi siapa? Eksistensi
manusia tiada lain adalah menjadi manusia.
Inilah tugas yang diembannya. Tegasnya ia harus menjadi manusia yang
ideal (manusia yang diharapkan, dicita-citakan, atau menjadi manusia yang
seharusnya. Keharusan cita-cita atau harapan ini bersumber kepada Allah SWT
melalui ajaran agama yang di turunkanNya, berunsur dari sesama dan budayanya,
bahkan dari diri manusia itu sendiri (Syaripudin, 2012).
Pendidikan merupakan faktor utama dalam
pembentukkan pribadi manusia. Pendidikan sangat berperan dalam bentuk baik atau buruknya pribadi manusia
menurut ukuran normative. Menyadari akan hal tersebut, pemerintah sangat serius
menangani bidang pendidikan, sebab dengan sistem pendidikan yang baik
diharapkan muncul generasi penerus bangsa yang berkualitas dan mampu
menyesuaikan diri untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
(Sigalinging, 2010).
Guru
adalah merupakan salah satu unsur manusia dalam proses pendidikan. Dalam proses
pendidikan di sekelah, guru memegang tugas ganda yaitu sebagai pengajar dan
pendidik. Sebagai pengajar guru bertugas menuangkan sejumlah bahan pelajaran ke
dalam otak anak didik, sedangkan sebagai pendidik guru bertugas membimbing dan
membina anak didik agar menjadi anak didik agar menjadi manusia yang cakap,
aktif, kreatif, dan mandiri (fieire, 2000 dalam Sigalingging, 2010).
Guru yang ideal dan professional merupakan
dambaan setiap insane pendidikan, sebab dengan guru yang professional
diharapkan pendidikan menjadi lebih berkualitas. Apabila penghargaan terguru
tersebut tidak memadai, maka harapan atau idealism di atas, bukan merupakan
pekerjaan yang mudah. Sedangkan inti
dari pendidikan adalah interaksi antara pendidik (guru) dengan peserta didik
(murid) dalam mencapai tujuan-tujuan pendidikan, pendidik, peserta didik dan
tujuan pendidikan adalah komponen-komponen pendidikan yang esinsial (utama).
Ketiga komponen pendidikan ini terbentuk segitiga, yaitu jika hilang salah satu
komponennya, maka hilang hakekat dari pendidikan itu (Sigalingging, 2010).
Hilangnya hakekat pendidikan itu didasari
oleh beberapa faktor permasalahan, dan tidak bisa diatasi dalam waktu yang
singkat dan secara individual saja, namun harus secara terorganisir baik dari
pihak pemerintah, guru, peserta didik dan masyrakat. Ini merupakan faktor
penting yang harus dibina dalam dunia pendidikan. Sedangkan jika kita tinjau
dengan pendidikan yang ada di Negara kita tercinta ini, permasalahan dalam
dunia pendidikan sangatlah rendah dibandingkan dengan negara-negara lain,
permasalahan dalam dunia pendidikan di Indonesia terus terjadi hingga saat ini
dan belum bisa teratasi secara kesulurahan, baik pada daerah kota besar,
provinsi, kabupaten, kecamatan, bahkan
di tempat-tempat terpencil lain.
b. Rumusan
Masalah
Dari latar belakang yang dipaparkan di atas, maka
dapat di jabarkan rumusan masalahnya sebagai berikut:
·
Apakah faktor
penyebab permasalahan rendahnya kulitas pendidikan di Indeonesia?
c.
Tujuan
·
Untuk mengatahui faktor penyebab permasalah rendahnya kualitas
pendidikan di Indonesia.
BAB
II
ISI
1. Permasalah-permasalahan
Pendidikan di Indonesia
Adapun permasalahan-permasalah pendidikan di
Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor, sehingga pendidikan di Negara kita
ini tidak dapat berkembang sebagai mana mestinya, faktor-faktor penyebab
kegagalan pendidikan di Indonesia di sebabkan antara lain:
a. Kurangnya
Kesadaran Masyarakat Terhadap Pendidikan
Pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran
agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Tujuan pendidikan sejati tidaklah hanya
mengisi ruang-ruang imajinasi dan intelektual anak, mengasah kepekaan
sosialnya, ataupun memperkenalkan mereka pada aspek kecerdasan emosi, tapi
lebih kepada mempersiapkan mereka untuk mengenal Tuhan dan sesama untuk
pencapaian yang lebih besar bagi kekekalan. Selain memiliki tujuan yang pasti
pendidikan juga memiliki peranan yang penting untuk menunjang kehidupan kita
sehari-hari khususnya untuk para pelajar dan generasi muda Indonesia.
Pendidikan sudah berperan dalam kehidupan seseorang sejak usia dini. Peranan
pendidikan adalah suatu peranan yang menentukan kualitas pendidikan seorang
anak di usia dini. Begitu juga dengan pengaruhnya pada pembentukan karakter dan
perkembangan kepribadian seorang anak. adapun kesadaran masyarakat terhadap pendidikan, disebabkan oleh
beberapa faktor, yaitu antara lain:
a)
Lamanya
Waktu pendidikan
Kurangnya kesadaran masyarakat Indonesia
terhadap pendidikan dikarenakan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menuntaskan
pendidikan, dalam arti menyelesaikan pendidikan formal hingga mendapatkan gelar
sarjana, yaitu kurang lebih selama 16 tahun. Padahal belum tentu setelah
seseorang mendapat gelar sarjana maka akan langsung mendapatkan pekerjaan
seperti yang kita inginkan, faktanya sekarang ini banyak sarjana yang
menganggur akibat kurangnya lapangan kerja dan sangat cepatnya pertumbuhan penduduk
Indonesia pertahunnya (Ritha, 2011).
b) Ekonomi
masyarakat yang rendah
Selain dikarenakan lamanya
waktu untuk menuntaskan pendidikan hingga mencapai gelar sarjana, biaya sekolah
untuk mendapatkan pendidikan wajib 9 tahun saja sudah membutuhkan biaya yang
cukup bersar. Memang untuk SD (Sekolah Dasar) dan SMP (Sekolah Menengah
Pertama) sudah tidak dikenankan iuran sekolah tiap bulannya dikarenakan adanya
program BOS (Biaya Operasianal Sekolah), tetapi mereka juga tetap harus membeli
buku-buku pelajaran dan baju seragam yang hanya dijual di sekolah seperti, baju
olahraga, batik dll. Sedangkan untuk tingkat SMA (Sekolah Menengah Atas) selain
harus membayar iuran sekolah tiap bulan, mereka juga wajib membayar uang
pangkal yang jumlahnya sudah ditetapkan oleh masing-masing sekolah.
Khususnya untuk murid SMA
swasta, mereka harus membayarnya dengan jumlah yang lebih besar dibandingkan
dengan SMA Negeri. Ditambah lagi kurangnya kesadaran masyarakat Indonesia
terutama yang berekonomi menengah kebawah. Para orangtua kurang menyadari bahwa
pendidikan anak-anaknya sangatlah penting. Menurut fakta yang ada dan yang
sering kita lihat maupun yang kita dengar anak-anak ekonomi menengah kebawah
terutama di kota-kota besar mereka berada di jalan-jalan untuk mengamen,
mengemis, dan bekerja serabutan, hal tersebut terjadi disebabkan perintah dari
orangtuanya dan mereka tidak berani menentang perintah orangtua mereka. Para
orang tua mereka melakukan hal tersebut karena sudah putus asa untuk mencari
pekerjaan tambahan yang lebih baik.
Oleh sebab itu para orang
tua mereka memerintah anaknya untuk mengamen dan melakukan hal-hal tersebut.
Tetapi tidak semua anak-anak itu mengamen dikarenakan perintah orangtua mereka.
Melainkan ada anak yang sadar akan kekurangan ekonomi keluarganya, sehingga
memaksa mereka untuk bekerja sambil bersekolah. Ada kalanya anak yang memiliki
orang tua yang berekonomi menengah keatas justru menyepelekan dan menyia-nyiakan
pendidikan yang telah diberikan orang tua mereka. Hal-hal tersebut yang
menyebabkan kesadaran masyarakat Indonesia akan pentingnya pendidikan Indonesia
menjadi berkurang (Ritha, 2011).
Di daerah terpencil memang
faktor ekonomilah yang menjadi alasan utama mengapa mereka tidak bisa
melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, Mereka mengganggap bahwa
untuk makan sehari-hari saja masih sangat pas-pasan apalagi untuk membiayai
kuliah yang sangat membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Padahal apabila mereka
bisa memanfaatkan beasiswa yang banyak diberikan perguruan tinggi untuk mereka
yang berprestasi namun tidak mampu dalam finansial, suatu hari kelak mereka
dapat menaikkan ekonomi dan mungkin derajat keluarga mereka dengan pendidikan
tinggi dan pekerjaan yang mapan (Apriliani, 2013).
c) Sosial
dan Budaya
Sedangkan di daerah pelosok
atau terpencil, kesadaran untuk melanjutkan pendidikan memang masih sangat
kurang. Mereka lebih memilih bekerja daripada melanjutkan pendidikan.
Kebanyakan faktor yang disebabkan adalah kurangnya kesadaran pribadi, faktor
ekonomi dan faktor sosial budaya. Faktor sosial budaya berkaitan dengan kultur
masyarakat yang berupa pandangan, adat istiadat, dan kebiasaan. Para remaja
selalu melakukan kontak dengan masyarakat. Pengaruh-pengaruh budaya yang
negatif dan salah terhadap dunia pendidikan akan turut berpengaruh terhadap
perkembangan dan pertumbuhan remaja tersebut. Remaja yang bergaul dengan
teman-temannya yang tidak sekolah atau putus sekolah akan terpengaruh dengan
mereka. Sehingga mereka memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan yang
lebih tinggi, karena teman-temannya juga tidak melanjutkan sekolah. Mereka
memilih untuk mencari uang dengan alasan membantu orang tua, padahal orang tua
mereka menginginkan anak-anaknya melanjutkan sekolah agar mempunyai masa depan
yang jelas, “Biarlah orang tuanya bodoh, yang penting anaknya pintar, dan
mempunyai masa depan.” Itulah semboyan orang tua yang sadar akan pentingnya
pendidikan bagi kehidupan dan masa depan anaknya.
Ada juga orang tua yang
belum sadar akan pentingnya pendidikan, anaknya mempunyai keinginan untuk
melanjutkan pendidikan tetapi orang tuanya melarang, dengan alasan tidak
mempunyai uang untuk membiayai sekolah, sedangkan kebutuhan yang belum
terpenuhi masih banyak, “buat apa sekolah tinggi, kenyataannya pada akhirnya
kerja di pabrik atau jadi kuli bangunan, nyatanya “si polan bin si polan” sudah
jadi sarjana tetapi sampai sekarang masih menganggur.” Pemikiran-pemikiran
seperti itu yang membuat mereka belum sadar akan pentingnya pendidikan (Apriliani,
2013).
Berhasil atau tidaknya
seseorang itu tergantung pada usaha manusia itu sendiri. Namun selain faktor
dari orang tua yang memang kurang sadar akan pentingnya pendidikan juga
didorong dengan kurangnya informasi yang bisa di akses oleh masyarakat daerah
terpencil. Banyak anak-anak yang sebenarnya ingin sekali melanjutkan ke
perguruan tinggi namun karena orang tua yang memang tidak setuju untuk
kuliah,merekapun juga tidak mencari informasi tentang itu, padahal sekarang ini
banyak sekali perguruan tinggi yang membebaskan mereka dari segala biaya selama
mereka kuliah, Hal itu sangat disayangkan apalagi bagi mereka yang berprestasi
Oleh sebab itu kita sebagai
generasi penerus bangsa harus lebih mengutamakan kesadaran dalam diri kita
sendiri akan pentingnya pendidikan bagi diri kita, bangsa dan Negara. Agar
dimasa mendatang kesadaran masyarakat Indonesia dapat lebih meningkat daripada
sekarang. Selain itu, orang tua juga memegang peran yang tidak kalah penting
dibandingkan kesadaran akan pendidikan dari dalam diri sendiri.
Kita harus membuat komitmen
pribadi untuk maju dan terus maju. Kita harus menjaga kesadaran diri dengan
menjaga sistem pendidikan yang ada di Indonesia agar mengarah pada tujuan
menciptakan generasi bangsa Indonesia yang produktif bukan yang konsumtif
belaka. Selain itu hal yang perlu kita lakukan saat ini adalah, sadar bahwa
kita generasi Indonesia harus bisa menciptakan produk diberbagai bidang yang
kita tekuni bukan hanya tahu memakai hasil temuan oranglain, apalagi temuan
bangsa lain. Mari menciptakan dan bukan menjadi plagiator semata. Orang-orang
atau orang tua yang mempunyai jalan pikiran sempit yang menganggap pendidikan
tidak penting, mengakibatkan anak-anak mereka yang tidak mengenyam pendidikan
formal akan menjadi beban bagi masyarakat bahkan sering menjadi pengganggu
ketentraman masyarakat. Hal ini diakibatkan oleh kurangnya pendidikan atau
pengalaman intelektualnya, serta tidak memiliki keterampilan yang menopang
kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu mulai sekarang tidak ada di dalam kamus
generasi muda kita kalau “orang miskin,tidak boleh sekolah apalagi bermimpi”
karena dengan keyakinan dan kerja keras ada banyak jalan menuju kesuksesan (Hiryanto,
2008).
b.
Kesadaran
peserta didik terhadap pendidikan
a)
Fator internal
Faktor kepribadian atau
temperamen adalah berbeda-beda dalam setiap individu. Para ahli meyakini bahwa
perbedaan tersebut berbasis pada faktor biologis atau genitika atau juga
disebut faktor internal. Faktor einternal ini sering dialami dari dalam diri anak (Intrinsik) Rasa malas
yang timbul dalam diri anak dapat disebabkan karena tidak adanya motivasi diri.
Motivasi ini kemungkinan belum tumbuh dikarenakan anak belum mengetahui manfaat
dari belajar atau belum ada sesuatu yang ingin dicapainya. Selain itu kelelahan
dalam beraktivitas dapat berakibat menurunnya kekuatan fisik dan melemahnya
kondisi psikis. Sebagai contoh, terlalu lama bermain atau terlalu banyak
membantu pekerjaan orangtua di rumah, merupakan faktor penyebab menurunnya
kekuatan fisik pada anak. Contoh lainnya, terlalu lama menangis, marah-marah
(ngambek) juga akan berpengaruh pada kondisi psikologis anak.
b)
Faktor
ekternal
Dari Luar Diri anak (ekstrinsik) Faktor dari luar anak
(faktor eksternal) tidak kalah besar pengaruhnya terhadap kondisi anak untuk
menjadi malas belajar. Hal ini terjadi karena :
ü Sikap orang tua
Sikap orangtua
Sikap orangtua yang tidak memberikan perhatian dalam belajar ataupun sebaliknya
orangtua terlalu berlebihan perhatiaannya, membuat anak malas belajar. Tidak
hanya itu, banyak orangtua yang menuntut anak belajar hanya demi angka (nilai)
dan bukan atas dasar kesadaran dan tanggung jawab anak selaku pelajar. Akibat
dari tuntutan tersebut tidak sedikit anak yang stress sehingga nilai yang
diperolehnya kurang memuaskan. Parahnya lagi, bilamana anak mendapat nilai yang
kurang memuaskan maka kalimat-kalimat celaan biasanya yang pertama keluar dari
bibir orangtua. Anak usia Sekolah Dasar sebenarnya jangan terlalu
diorientasikan pada nilai (hasil belajar) tetapi bagaimana membiasakan diri
anak belajar, berlatih tanggung jawab, dan berlatih hidup dalam suatu aturan.
ü Sikap guru
Sikap guru Selaku figur atau tokoh teladan yang
dibanggakan, tidak jarang sikap guru di sekolah juga menjadi objek ?keluhan?
siswanya. Ada banyak macam penyebabnya, mulai dari ketidaksiapan guru dalam
mengajar, tidak menguasai bidang pelajaran yang akan diajarkan, atau karena
terlalu banyak memberikan tugas-tugas dan pekerjaan rumah. Selain itu, sikap
sering terlambat masuk kelas di saat mengajar, bercanda dengan siswa-siswa
tertentu saja atau ?membawa? masalah rumah tangga ke sekolah, membuat suasana
belajar semakin tidak nyaman, tegang dan menakutkan bagi siswa tertentu.
ü Sikap Teman
Tidak semua teman
di sekolah memiliki sikap atau perilaku yang baik dengan teman-teman lainnya.
Seorang teman yang berlebihan dalam perlengkapan busana sekolah atau
perlengkapan belajar, seperti sepatu yang bermerk yang tidak terjangkau oleh
teman-teman lainnya, termasuk tas sekolah atau alat tulis, secara tidak
langsung dapat membuat iri teman-teman yang kurang mampu. Pada akhirnya ada
anak yang menuntut kepada orangtuanya untuk minta dibelikan perlengkapan
sekolah yang serupa dengan temannya. Bilamana tidak dituruti maka dengan cara
malas belajarlah sebagai upaya untuk dikabulkan permohonannya.
ü Suasana belajar di luar lingkungan sekolah
Suasana belajar di
rumah Bukan suatu jaminan rumah mewah dan megah membuat anak menjadi rajin
belajar, tidak pula rumah yang sangat sederhana menjadi faktor mutlak anak
malas belajar. Rumah yang tidak dapat menciptakan suasana belajar yang baik
adalah rumah yang selalu penuh dengan kegaduhan, keadaan rumah yang berantakan
ataupun kondisi udara yang pengap. Selain itu tersedianya fasilitas?fasilitas
permainan yang berlebihan di rumah juga dapat mengganggu minat belajar anak.
Mulai dari radio tape yang menggunakan kaset, CD, VCD, atau computer/ warnet
yang sekarang ini menjadi trendnya kaum remaja yang diprogram untuk berbagai
jenis permainan (games), seperti Game Boy, Game Watch maupun Play Stations dan
lain-lain. Kondisi seperti ini berpotensi besar untuk tidak terciptanya suasana
belajar yang baik.
ü Sarana
Sarana belajar
merupakan media mutlak yang dapat mendukung minat belajar, kekurangan ataupun
ketiadaan sarana untuk belajar secara langsung telah menciptakan kondisi anak
untuk malas belajar. Kendala belajar biasanya muncul karena tidak tersedianya
ruang belajar khusus, meja belajar, buku?buku penunjang (pustaka mini), dan
penerangan yang bagus. Selain itu, tidak tersediannya buku?buku pelajaran, buku
tulis, dan alat-alat tulis lainnya, merupakan bagian lain yang cenderung
menjadi hambatan otomatis anak akan kehilangan minat belajar yang optimal
(Ritha, 2012).
c.
Rendahnya kualitas guru
Guru adalah merupakan faktor penentu kualitas hasil pendidikan. Guru
yang tidak berkualitas dianggap sulit bisa melahirkan
lulusan yang hebat. Apalagi, keberadaan guru tidak bisa digantikan oleh faktor
lain. Sehingga untuk meningkatkan mutu pendidikan,
upaya-upaya peningkatan kualitas guru harus selalu dilakukan secara terus
menerus tanpa henti.
Hakekatnya profesinal adalah suatu pernyataan atau suatu janji terbuka
yang menyatakan bahwa seseorang itu mengabdikan dirinya pada suatu jabatan atau
pelayanan karena orang tersebut merasa terpanggil untuk menjabat pekerjaan
itu. Dan jika ditinjau dalam bidang
keguruan besarnya harapan depdiknas terhadap guru merupakan penguat terhadap
apa yang telah kita sadari selama ini. Guru mempunyai peranan yang amat penting
dalam upaya pendidikan, Ronan Brandt dalam tajuk rencana Enducation Leadership
berkata: “hampir semua usaha reformasi dibidang pendidikan seperti pembaharuan
kurikulum dan penerapan metode mengajar baru akhirnya tergantung kepada guru” (Suprayogu,
2014).
Kenyataanya, pendidikan di Indonesia saat ini sangatlah rendah, harapan
Depdiknas pun tinggallah harapan, hakekat seorang guru pun kini seakan
terlempar jauh dari hakekat sebenarnya,
Pada mereka, mengajar sebagai kegiatan professional masih dipertanyakan
kebenarannya. Banyak media masa membicarakan hal-hal ini dan inilah fakta yang
kita hadapi sekarang, guru-guru sekarang bukanlah guru yang mempunyai kompoten
yang layak, sehingga pendidikan di Indonesia pun tercipta bukanlah dengan
kelayakan sebagaimana mesti,dengan adanya keadaan ini semua usaha reformasi
dibidang pendidikan yang tergantung kepada gurupun dianggap gagal (Sigalingging,
2010).
Ketua Umum Pengurus Besar PGRI, Sulistiyo, mengatakan bahwa ada beberapa
persoalan guru yang menonjol dan tidak kunjung mendapat penyelesaian dari
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Sebagai pendidik anak bangsa,
permasalahan guru ini nyaris tidak didengar oleh penguasa. "Ada banyak
hal, dari pendidikan guru yang tidak memadai, sistem rekrutmen dan distribusi
yang tidak sesuai bahkan masalah kesejahteraan juga masih ada," kata
Sulistiyo saat jumpa pers di Kantor PGRI, Jalan Tanah Abang III, Jakarta, Senin
(26/11/2012) (Affifah,2014).
Adapun faktor penyabeb rendahnya kualitas guru, disebabkankan oleh
beberapa faktor yaitu:
a)
Pengangkatan
Guru KKN, bukan karena kualitas seorang guru.
b)
Guru
tidak mempunyai komitmen terhadap murid dan proses belajarnya.
c)
Kurang
penguasaan materi pembelajaran secara mendalam serta cara mengajar
yang
kurang pas.
Kurang
penguasaan guru terhadap media/sumber belajar
Kurangnya
penguasaan guru terhadap landasan-landasan kependidikan
d)
Kurangnya
sikap disiplin yang dimiliki oleh seorang guru
e)
Kurangnya
tanggung jawab guru memantau hasi belajar murid melalui berbagai teknik
evaluasi, mulai dari cara pengamatan dalam prilaku murid sampai hasil tes hasil
belajar.
(Sigalingging,
2010).
d.
Sarana dan prasana yang kurang memadai
Secara etimologis (bahasa) prasarana berarti alat tidak langsung untuk
mencapai tujuan dalam pendidikan. Misalnya: lokasi/tempat, bangunan sekolah,
lapangan olahraga, uang dan sebagainya. Sedangkan sarana berarti alat langsung
untuk mencapai tujuan pendidikan. Misalnya ruang, buku, perpustakaan,
laboratorium dan sebagainya. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa
sarana dan prasarana pendidikan itu adalah semua komponen yang secara langsung
maupun secara tidak langsung menunjang jalannya prosess pendidikan untuk
mencapai tujuan dalam pendidikan itu sendiri. Menurut keputusan menteri P dan K
No 079/1975, sarana pendidikan terdiri dari 3 kelompok besar yaitu:
a)
bangunan
dan prabot sekolah
Alat pembelajaran
yang terdiri dari pembukuan, alat-alat peraga dan laboratorium. Media
pendidikan yang dapat di kelompokan menjadi audiovisual yang menggunakan alat
penampilan dan media yang tidak menggunakan alat penampil (Sigalingging, 2010).
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam proses pendidikan,
bahwa kualitas pendidikan tersebut juga didukung dengan sarana dan prasarana
yang menjadi standar sekolah atau instansi pendidikan terkait. Sarana prasarana sangat mempengaruhi
kemampuan siswa dalam belajar. Hal ini menunjukkan bahwa peranan sarana dan
prasarana sangat penting dalam menunjang kualitas belajar siswa. Misalnya saja
sekolah yang berada di kota yang sudah memiliki faslitas laboratorium komputer,
maka anak didiknya secara langsung dapat belajar komputer sedangkan sekolah di
desa yang tidak memiliki fasilitas itu tidak tahu bagaimana menggunakan
komputer kecuali mereka mengambil kursus di luar sekolah. Dan itu hanya salah
satu contoh umum yang terjadi dalam permasalahan sarana dan prasarana di
Indonesia ini, namun masih banyak sekali yang masih belum teratasi hingga saat
ini, misalnya saja didaerah pedalaman Kalimantan, banyak bangunan sekolah yang
roboh, atab sekolah yang bocor, dan bahkan di daerah lain masih ada yang bersekolah
hanya berdindingkan jerami, listrik saja tidak ada. jauh dari kelayakan yang
pada halnya dikota, mereka mendapatkan bangunan sekolah yang memadai, dengan
segala fasilitas yang mereka miliki,sedangkan masyarakat pedalam, sangat jauh
sekali untuk mendapatkan fasilitas layaknya di kota-kota besar, seakan mereka
hanyalah berangan-angan saja terhadap hal tersebut. bahkan guru-guru yang ada dikota kebanyakan
dari lulusan perguruan tinggi, sedangkan di daerah pedalaman, hamper tidak ada
yang dari lulusan perguruan tinggi, mereka kebanyakan hanya bisa baca tulis,
itu lah yang dijadikan pendidik di daerah pedalam ini dan ini merupakan adalah
fakta yang terjadi pada Negara kita Indonesia (Affifah,2014).
e.
Kebijakan
Pemerintah Kurang Maksimal
Pendidikan merupakan
upaya merancang masa depan umat manusia yang da- lam konsep dan implementasinya harus memperhitungkan berbagai
faktor yang mempengaruhinya. Konsep pendidikan dapat diibaratkan sebuah pakaian yang tidak
dapat diimpor dan diekspor. Ia harus diciptakan sesuai dengan keinginan, ukuran, dan model dari orang yang memakainya
sehingga tampak pas dan serasi. Demikian
pula dengan konsep pendidikan yang diterapkan di
Indonesia. Ia amat dipengaruhi oleh berbagai kebijakan
politik pemerintahan, perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi, perkembangan dan perubahan masyarakat, adat istiadat, kebudayaan dan
lain
sebagainya.
Kebijakan-kebijakan pemerintah, mulai dari
pemerintahan kolonial, awal dan
pasca kemerdekaan hingga masuknya Orde Baru terkesan "menganaktirikan”, meng-
isolasi bahkan hampir saja menghapuskan sistem pendidikan Islam karena “Indone-
sia bukanlah negara Islam”. Namun, berkat semangat juang yang tinggi dari tokoh- tokoh pendidikan Islam, akhirnya berbagai kebijakan tersebut mampu “diredam” un- tuk sebuah tujuan ideal yang tertuang dalam Undang-Undang RI Nomor 20, tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan
Nasional (UU Sisdiknas) BAB II, pasal 3 yang ber- bunyi sebagai berikut:
“Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan ke- hidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan
menjadi warga ne- gara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Akan tetapi Kondisi lembaga pendidikan di
Indonesia masih ditandai
oleh berbagai kelemahan, antara
lain:
·
Kelemahan sumber daya manusia
(SDM), manajemen, dan dana. Sementara itu diketahui bahwa jika suatu lembaga pendidikan ingin tetap eksis
secara fungsional di tengah-tengah arus kehidupan yang semakin kompetitif seperti
sekarang ini, harus didukung oleh ketiga
hal
tersebut, yaitu sumber daya manusia,
manajemen, dan dana.
·
Lembaga pendidikan
tinggi masih belum mampu mengupayakan secara optimal mewujudkan sesuai dengan cita-cita idealnya.
Di sisi lain, masyarakat masih memposisikan lembaga pendidikan sebagai pilar utama yang menyangga kelangsungan
agama dalam mewujudkan cita-citanya, yaitu
memberi rahmat
bagi
seluruh alam;
·
Lembaga pendidikan tinggi masih dipandang belum mampu
mewujudkan secara transformatif. Kenyataan bahwa
masyarakat dalam mengamalkan ajaran agamanya
telah berhenti pada tataran simbol dan formalistik;
·
Kecenderungan masyarakat untuk mewujudkan masyarakat madani yang kuat, yaitu masyarakat yang menunjang tinggi nilai-nilai kemanusiaan seperti nilai-nilai keadilan, kebersamaan,
kesederajatan, kemitraan, kejujuran
dan sebagainya, dan
·
Lembaga
pendidikan dipandang masih belum mampu bersikap disiplin dalam melaksanakan kode etik dalam bidang
pendidikan.
f.
Sikap Kerohanian yang
Rendah
Pada masa pemerintahan Jepang
terjadi perubahan kebijakan. Jepang membolehkan pendidikan agama
di sekolah umum sebagai efek
dari ditiadakannya diskri-minasi menurut golongan penduduk, keturunan,
dan agama sehingga semua lapisan masyarakat mendapat kesempatan yang sama
dalam bidang pendidikan.
Meskipun demikian, guru agama tidak digaji
oleh
pemerintah Jepang.
Setelah Indonesia
merdeka, dinyatakan dengan tegas bahwa pendidikan agama perlu dijalankan di sekolah-sekolah negeri. Hasil kerja Panitia Penyelidik Pengajaran memutuskan bahwa pelajaran agama diberikan
pada semua sekolah dalam jam pela-
jaran, sedangkan di SR (SD) diajarkan mulai kelas IV. Guru agama disediakan oleh
Kementerian Agama dan dibayar oleh pemerintah, dengan ketentuan
bahwa guru agama
harus
mempunyai pengetahuan umum.
Berdasarkan alasan tersebut
diperlukan pendidikan guru agama. Pada kenyataannya pendidikan agama
ini sangatlah berpengaruh terhadap moral, akhlak, akedah masyarakat, peserta
didik, guru, bahkan pemerintah, dimana
pendidikan agama merupakan dasar untuk menjadi seseorang terarah dalam kehidupannya sehari-hari, baik
dilingkungan sosial, budaya, maupun dalam bidang pendidikan, pemerintah dan
lain sebagainya. Lemahnya keimanan seseorang sangatlah memicu kepribadiannya
sendiri, karena dengan keimanan, seseorang akan menjadi bersikap jujur, displin
dan sangat hati-hati dalam melakukan segala hal, karena dengan keimanan ini dia
meyakini bahwa Allah SWT selalu memperhatikannya dalam segala hal, baik dalam
kebaikan maupun hal-hal yang dianggap menyalahi aturan dan tidak terdiding oleh
suatu apapun jua. Namun sebaliknya jika keimanan seseorang itu lemah, sangatlah
memicu seseorang untuk melakukan hal-hal yang tidak diinginkan, dia akan
seenaknya melakukan apa yang dia inginkan tanpa menyadari bahwa dirinya telah
melakukan kesalahan-kesalahan. Faktanya di Indonesia masih banyak orang yang
melakukan kesalahan-kesalahan, contohnya dalam kasus KKN di Negara kita ini
masih sangat suram, pengawasan pemerintah yang masih rendah dalam dunia
pendidikan maupun dalam bidang lain, kesadaran masyrakat yang rendah terhadap
pentingnya ilmu pengetahuan, kejujuran guru-guru dan murid dalam melaksanakan
tugasnya masih diragukan, Hal ini menandakan keimanan kita ini masihlah sangat
rendah dimata dunia (Shabir, 2013).
Jika hal ini terus berkelanjutan,
permasalahan-permasalahan yang ada di Negara kita inipun tak akan kunjung
selesai dari segala permasalahan tersebut. Pendidikan intelektual memang
sangatlah penting bagi kita semua, namun tanpa didasari dengan moral, akhlak
dan akedah yang baik, maka pendidikan kita ini dianggap gagal atau dianggap
masih belum berhasil, karena Setelah bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, bangsa Indo- nesia menunjukan kepeduliannya terhadap
pendidikan. Hal itu terbukti dengan me-
nempatkan usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai tujuan nasional bangsa Indonesia, sebagaimana tertulis dalam pembukaan Undang-undang Dasar RI 1945 yang berbunyi:
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perda-
maian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan In- donesia itu dalam suatu susunan negara republik
Indonesia yang berkedaulatan
rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewu-
judkan suatu keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
BAB III
PENUTUP
a. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di Atas, dapat kita
simpulkan bahwa pendidikan di Indonesia sesungguhnya sangat komplek. Dimana
permasalahan ini disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu yang pertama adalah faktor kesadaran
masyrakat yang masih rendah terhadap pendidikan, dimana faktor ini didasari
oleh beberapa kendala yaitu seperti lamanya menempuh pendidikan, status ekonomi
masyrakat yang tidak memadai, dan adanya
pengaruh sosial dan budaya masyarakat. Faktor kedua disebabkan kesadaran
perserta didik terhadap pendidikan masih rendah yang dipengaruhi baik dalam
diri peserta didik (internal) maupun faktor luar (ekternal), yang ketiga yaitu
kualitas guru yang masih rendah, yang keempat disebabkan oleh faktor sarana dan
prasarana yang masih kurang memadai, yang kelima faktor kebijakan pemerintah terhadap
pendidikan masih rendah atau diprihatinkan,dan yang terakhir adalah disebabkan
oleh rendahnya sikap kerohanian sehingga memicunya terhadap sikap dunia
pendidikan yang negative dan kepribadian semua pihak, baik masyarakat, peserta
didik, guru bahkan pemerintah itu sendiri.
b. saran
faktor-faktor di atas adalah merupakan faktor
penentu untuk berjalannya suatu pendidikan dengan baik, dan terciptanya suatu
pendidikan yang bermutu, penerus bangsa yang berkulitas sehingga menjamin
haq-haq azazi manusia untuk mengembangkan seluruh potensi dan prestasinya
secara optimal guna kesejahteraan di masa depan serta mampu menyesuaikan diri
untuk hidup bermasyrakat, berbangsa dan bernegara, karena itu, pendidikan di
Negara kita ini perlu diatasi sedini mungkin agar tidak berkelanjutan. Karena
nasib suatu komunitas atau suatu bangsa di masa depan tergantung pada
kontribusinya pendidikan dan sangat diyakini pendidikanlah yang dapat
memberikan kontribusi pada kebudayaan dan kesejahteraan bangsa dan Negara di
hari esok.
DAFTAR PUSTAKA
Affifah S. 2014. Permasalahan
Pendidikan di Indonesia Tidak Kunjung Selesai. Kompas Jakarta.
Http//:www.Permasalah.Ind.Pend2.compas.com. diakses kamis, 9 januari 2014.
Apriliani,
2013. Problematika pendidikandi Indonesia.
Http://.www.apriltrygatget.com/computer.
diakses pada 17 november 2012.
Saripuddin.
2012. Hakekat Manusia dalam Pendidikan.
Http://hakekatmns.com.
Diakses ,28 Agustus 2012.
Sigalingging
David. 2010. Buku Profesi Pendidikan. Pendidikan
Teknik Otomotif Fakulatas Pendidikan Universitas Negeri Padang. 2014.
Suprayogu, 2014. Rendahnya kualitas guru di Indonesia. Http://.yugu.guru.ac.ind.com. Diakses pada 29 Februari 2014.
Ritha. 2012. Partisipasi Masyarakat Terhadap Pendidikan Di Indonesia. Http://www.promlempendinnesia12th.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar