Azaz Legalitas, Aspek Sosial dan
Bioetika
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pertumbuhan populasi penduduk dunia yang sangat
pesat dewasa ini sebagai akibat dari angka kelahiran (natalitas) yang tinggi
menyebabkan konsekuensi yang besar terhadap upaya-upaya pengadaan dan peningkatan suplai pangan
dunia. Salah satu alternatif upaya
mengatasi permasalahan di atas ditempuh dengan menerapkan bioteknologi untuk
pertanian. Menurut Matsui, Miyazaki, dan
Kasamo (1997 dalam Susiyanti , 2003), salah satu teknik yang dapat
diterapkan adalah teknologi transgenik yang merupakan bagian dari rekayasa
genetika (RG). Salah satu produk RG yang dikenal saat ini adalah tanaman
transgenik (Muladno, 2002; Elrod & Stansfield, 2007). Tanaman ini
dihasilkan dengan cara mengintroduksi gen tertentu ke dalam tubuh tanaman,
sehingga diperoleh sifat yang diinginkan. Jenis-jenis tanaman transgenik yang
telah dikenal diantaranya tanaman tahan hama, toleran herbisida, tahan
antibiotik, tanaman dengan kualitas nutrisi lebih baik, serta tanaman dengan
produktivitas yang lebih tinggi.
Jumlah penduduk Indonesia saat ini mencapai 216 juta
jiwa dengan angka pertumbuhan 1.7 % per tahun. Angka tersebut mengindikasikan
besarnya bahan pangan yang harus tersedia. Kebutuhan yang besar jika tidak
diimbangi peningkatan produksi pangan justru menghadapi masalah bahaya latent
yaitu laju peningkatan produksi di dalam negeri yang terus menurun. Sudah pasti
jika tidak ada upaya untuk meningkatkan produksi pangan akan menimbulkan
masalah antara kebutuhan dan ketersediaan dengan kesenjangan semakin melebar
(Hutapea dan Mashar, 2009).
Dokumen FAO tahun 2001 menjelaskan bahwa penggunaan
produk transgen (yang mencakup tanaman, hewan dan mikroorganisme) atau disebut
GMO (genetically modified organism) berkaitan erat dengan etika pangan dan
etika pertanian dunia. Akibatnya, pembahasan mengenai penggunaan tanaman
transgenik tidak lagi hanya berupa keamanan pangan, melainkan juga
mempertimbangkan hak konsumen dan dampak lingkungan dari pengembangan dan
komersialisasi GMO (Widodo, tanpa tahun). Untuk lebih memahami apa itu tanaman
transgenik, bagaimana sikap masyarakat (formal, non formal), dan pandangan dari
aspek bioetika serta beberapa aspek yang terkait terhadap penggunaan tanaman
transgenik, maka dalam penelitian ini akan dibahas dan dipaparkan hal-hal
tersebut secara lebih mendalam.
B.
Tujuan
Tujuan
dari studi kepustakaan ini yaitu:
1. Untuk
mengetahui tentang sikap masyarakat tentang penggunaan tanaman transgenik
2. Untuk
mengetahui kajian bioetika terhadap penggunaan tanaman transgenik
BAB
II
Sikap
Masyarakat dan Kajian Bioetika Terhadap Tanaman Transgenik
Transgenik adalah memindahkan gen dari satu makhluk
hidup kemakhluk hidup lainnya, baik dari satu tanaman ketanaman lainnya, atau
dari gen hewan ke tanaman. Tanaman transgenik adalah tanaman hasil rekayasa gen
dengan cara disisipi satu atau sejumlah gen (transgene) yang merupakan salah
satu kemajuan bioteknologi yaitu Genetically Modified Organism (GMO) untuk
mengatasi masalah pangan.Teknologi ini menimbulkan sikap pro dan kontra di
masyarakat. Sikap pro masyarakat terhadap penggunaan tanaman transgenik berkaitan
dengan keuntungan dari segi kemanfaatan pada bidang pertanian dan kesehatan,
sedangkan sikap kontra terhadap tanaman transgenik berkaitan dengan uji
keamanan pangan untuk kesehatan dan keamanan aspek lingkungan.
Dari aspek bioetika, penggunaan tanaman transgenik
meskipun dapat meningkatkan kualitas hidup namun harus dievaluasi dengan
hati-hati. Terkait dengan masalah tersebut, maka disarankan agar masyarakat
(formal dan non formal)mengambil sikap atau merespon tanaman transgenik
tersebut secara wajar, realistis dan proporsional dengan mempertimbangkan aspek
agama, legalitas(hukum), kesehatan, sosial-ekonomi, perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK), dan
aspek etika lingkungan.(bioetika).
A.
Sikap
masyarakat tentang penggunaan tanaman transgenik di Indonesia
Penggunaan tanaman transgenik hingga saat ini, masih
menuai sikap pro dan kontra di dalam masyarakat. Masyarakat yang pro pada
penggunaan tanaman transgenik terutama melihat pada potensi pemanfaatan tanaman
transgenik untuk mengatasi krisis pangan, dan cenderung berpendapat penggunaan
transgenik tidak berbahaya. Sedangkan masyarakat yang kontra pada penggunaan
transgenik karena menganggap tanaman transgenik belum dievaluasi mendetail
untuk keamanan tingkat konsumsinya bagi manusia, bagi lingkungan dan
mempertanyakan asal-usul gen yang diintroduksi ke dalam tanaman. Untuk
mendapatkan gambaran yang jelas mengenai pro dan kontra yang terjadi di
masyarakat mengenai penggunaan tanaman transgenik, berikut dipaparkan alasan
masyarakat yang pro terhadap penggunaan tanaman transgenik dan alasan
masyarakat yang kontra terhadap penggunaan tanaman transgenik yang merupakan
sikap masyarakat non formal (non sekolah). Disamping itu juga akan dipaparkan
bagaimana semestinya sikap masyarakat formal (sekolah) terutama sikap para
pendidik (guru) terhadap permasalahan penggunaan tanaman transgenik ini.
B.
Sikap
Pro Penggunaan Tanaman Transgenik
Masyarakat yang pro pada penggunaan tanaman
transgenik berdasarkan pada asumsi bahwa dalam dunia pertanian tanaman pangan dan
kehutanan, transgenetika dapat dikatakan bertujuan mulia, yaitu demi keuntungan
petani maupun pengolah hasil pertanian. Sebagian besar tanaman budidaya
transgenik berupa tanaman-tanaman yang memiliki ketahanan terhadap hama
serangga (Widodo, tanpa tahun). Ketahanan terhadap serangga dikarenakan tanaman
ini mampu memproduksi toksin bakteri Bacillus thuringiensis, agen pengendali
hama (serangga) secara organik, karena telah disisipi gen penghasil toksin
tersebut. Adanya kemampuan ini menurunkan penggunaan herbisida, zat kimia
pertanian (agrochemicals) yang biasa digunakan untuk mengendalikan tanaman
pengganggu (gulma). Sehingga efisiensi pertanian menjadi meningkat. Contoh
tanaman transgenik yang tahan hama ini misalnya kapas Bt, kedelai Bt dan jagung
Bt (Widodo, tanpa tahun).
Kompas edisi Januari 2000 memuat prakiraan
keuntungan penggunaan tanaman transgenik yaitu: 1) Panen tinggi: Tanaman hasil
rekayasa genetik dapat membantu memperbaiki jumlah dan kualitas panen di lahan
marjinal seperti tanah asam dan tandus, 2) Perbaikan nutrisi: Produk tanaman,
kedelai misalnya, bisa dimodifikasi mengandung lebih banyak protein, zat besi,
untuk mengatasi anemia. Baru-baru ini, ilmuwan Eropa berhasil memasukkan
vitamin A pada padi. 3) Perbaikan kesehatan: Vaksin di dalam produk tanaman
akan mempermudah pencapaian sasaran dan cakupan, dan 4) Sedikit bahan kimia:
Tanaman rekayasa genetik yang sudah dibuat tahan hama dan gulma misalnya, tidak
memerlu-kan lagi pestisida dan herbisida.
Karena alasan-asalan yang dikemukakan di atas, maka
transgenik merupakan suatu potensi yang dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan
publik. Teknologi ini potensial untuk mengatasi masalah masa depan ketahanan
pangan yang akan dihadapi bangsa, karena masalah-masalah struktural sektor
pertanian yang sulit diatasi, seperti terjadinya alih fungsi lahan, jenuhnya
kesuburan tanah-tanah (terutama di Jawa) yang mengancam produktivitas pangan.
Begitu juga teknologi ini bisa menjadi solusi untuk masalah over fishing sektor
perikanan, yang menyebabkan jumlah dan keragaman ikan menjadi berkurang.
C.
Sikap
Kontra Penggunaan Tanaman Transgenik
Masyarakat yang kontra terhadap penggunaan
transgenik karena mengkahwatirkan dampak yang ditimbulkan konsumsi tanaman
transgenik terhadap kesehatan dan lingkungan. Hal ini terjadi karena tanaman
transgenik belum dievaluasi penggunaannya secara mendetail dalam jangka panjang
sebelum dilepaskan ke pasaran.Terhadap kesehatan manusia, tanaman transgenik
tahan hama diduga dapat menimbulkan keracunan bagi konsumennya. Hal ini didasarkan
pada fakta bahwa tanaman tahan serangga yang diintroduksi dengan gen Bt yang
bersifat racun terhadap serangga, juga akan berakibat racun pada
manusia.Tanaman transgenik juga diduga dapat menimbulkan kemungkinan alergi
jenis baru akibat ditambahkannya protein tertentu ke dalam tanaman, misalnya
pada kedelai transgenik yang diintroduksi dengan gen penghasil protein metionin
dari tanaman brazil nut, diduga menimbulkan alergi terhadap manusia. Lewat uji
skin prick-test menunjukkan kedelai transgenik positif sebagai alergen.
Bantahan kedelai transgenik bertindak sebagai alergen adalah karena alergen
memiliki sifat stabil dan membutuhkan waktu yang lama untuk terurai dalam
sistem pencernaan, sedangkan protein bersifat tidak stabil dan mudah terurai
oleh panas pada suhu >65 0C yang jika dipanaskan tidak berfungsi lagi.
Sehingga protein kedelai yang telah mengalami proses pemanasan tidak bertindak
sebagai alergen. Dalam hal ini, lagi-lagi pendapat tersebut masih berupa
asumsi. Akan tetapi, memang saat ini belum ada cara yang dapat diandalkan untuk
menguji makanan RG yang bersifat allergen, sehingga kasus ini masih berupa
prediksi yang belum jelas kesimpulannya. Tanaman golden rice yang diklaim
sangat bermanfaat pun ternyata setelah diuji tidak hanya memproduksi beta
karoten, tetapi juga lutein dan zeaxanthin, dua senyawa yang belum diketahui
pengaruhnya terhadap kesehatan (Nestle, 2003 dalam Cahyadi, 2006 ).
Secara ringkas, Kompas edisi Januari 2000,
memperkirakan resiko kerugian akibat penggunaan tanaman transgenik yang disitir
dari Asiaweek sebagai sumbernya yaitu: 1) Timbulnya alergi baru: Manipulasi
genetik sering memanfaatkan protein dari organisme yang tidak pernah dimakan.
Padahal diketahui banyak penyebab alergi berasal dari protein, 2) Resistensi
antibiotik: Gen yang resisten terhadap antibiotik yang sering digunakan sebagai
penanda untuk menyeleksi sel-sel transgenik, mungkin saja pindah ke manusia
atau organisme lain yang bisa menimbulkan masalah kesehatan, 3) Virus baru :
Gen virus pada tanaman untuk membuatnya tahan terhadap serangan virus, bisa
saja bergabung dengan mikroba baru yang menginfeksi tumbuhan itu, sehingga bisa
menghasilkan hibrid baru yang lebih ganas, 4) Gulma baru: Pada lingkungan yang
lebih luas, mungkin saja gen tahan herbisida yang diintroduksi ke tanaman
pindah melalui serbuk sari yang menyerbuki gulma sekitarnya. Muncullah gulma
super yang sulit ditangani dan menghancurkan ekosistem, dan 5) Hama resisten : Pemaparan terus-menerus
dari tanaman yang bisa menghasilkan pestisida sendiri bisa menyebabkan hama
menjadi kebal dan membuat racun pestisida itu akhirnya tidak efektif. Selain
itu menurut Goya dkk, (2009) Ada empat jenis resiko yang mungkin ditimbulkan
oleh produk transgenik yaitu: (1) Efek akibat gen asing yang diintroduksi ke dalam
organisme transgenik, (2) Efek yang tidak diharapkan dan tidak ditargetkan
akibat penyisipan gen secara random dan interaksi antara gen asing dan gen
inang di dalam organisme transgenik, (3) Efek yang dikaitkan dengan sifat
konstruksi gen artifisial yang disisipkan ke dalam organisme transgenik,
dan (4) Efek dari aliran gen, terutama
penyebaran secara horizontal dan sekunder dari gen dan konstruksi gen dari
organisme transgenik ke spesies yang tidak berkerabat.
Contoh:
Upaya menghasilkan beras transgenik yang rendah
glutelin ternyata pada saat bersamaan memunculkan karateristik lain, yaitu
meningkatnya kandungan prolamin. Rendahnya glutelin berdampak positip pada
protein yang tersimpan pada beras (rice protein storage). Namun, meningkatnya
prolamin akan mengakibatkan perubahan kualitas gizi dan bahaya alergi bagi
siapa pun yang mengonsumsinya. Kedelai kaya lysine (salah satu asam amino
esensial), maka ternyata dampak ikutannya adalah kadar lemak kedelai menjadi
turun. Hal ini jelas tidak dikehendaki, apabila maksud dikembangkannya tanaman
kedelai adalah sebagai bahan baku minyak goreng. Demikian pula beras kaya
beta-karoten, menghasilkan karakteristik ikutan berupa meningkatnya xantophyll.
Resiko di atas menimbulkan potensi bahaya bagi
lingkungan dan manusia yaitu: (1) Pemindahan DNA transgenik secara horisontal
ke mikroorganisme tanah, yang dapat mempengaruhi ekologi tanah, (2) Kerusakan
organisme tanah akibat toksin dari transgenik yang bersifat pestisida, (3)
Gangguan ekologis akibat transfer transgen kepada kerabat liar tanaman, (4)
Kerusakan pada serangga yang menguntungkan akibat transgenik bersifat
pestisida, (5) Timbulnya virus baru, (6) Meningkatnya resistensi terhadap
antibiotik, termasuk dan terutama pada manusia yang memakan produk transgenik,
dan (7) Meningkatnya kecenderungan allergen, sifat toksik atau menurunnya nilai
gizi pada pangan transgenik.
D.
Sikap
dan Kebijakan yang Sepatutnya Diambil
Kontroversial penggunaan suatu produk teknologi maju
termasuk bioteknologi harus dapat diatasi secara bijaksana. Salah satunya
dengan pembuatan suatu produk hukum yang bersifat legal. Indonesia terkesan lambat dalam membuat Undang-undang Keamanan hayati. Pemerintah dapat menerima masukan
sebanyak-banyakanya dari masyarakat, kemudian dibuat suatu pedoman standar yang
mengikat dan mempunyai kekuatan hukum tetap dari tanaman transgenik dan produk olahannya (Mardiana, 2000).
Selain itu, informasi mengenai
konstruksi dan evaluasi tanaman transgenik
dan produk olahannya dipandang perlu. Seperti disarankan oleh YLKI dan Konphalindo (dalam
Mardiana, 2000) yang mendesak pemerintah guna mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
-
Mengadakan moratorium atas impor, penjualan dan pelepasan makanan
dan produk transgenik hingga ada
peraturan yang jelas dan ada bukti keamanannya.
-
Menyusun Undang-undang keamanan hayati
dan pangan.
-
Meratifikasi protokol Cartagena,
menyusun peraturan pelaksanaannya
dengan menggunakan protokol tersebut
sebagai standar minimum.
-
Mengadakan dialog vertikal dan horizontal untuk mengambil keputusan
tentang arah kebijakan pengawasan riset, uji coba, pelepasan, penggunaan dan
monitoring produk transgenik.
-
Memberlakukan sistem label.
-
Menyusun data base produk dan uji
coba produk transgenik yang ada di Indonesia dan menyebarkan informasi tersebut ke publik.
Sikap masyarakat hendaknya wajar dan
proporsional terhadap tanaman transgenik tersebut, mengingat tanaman transgenik
banyak memberikan keuntungan terutama sebagai alternatif dalam usaha mengatasi
krisis pangan dunia dengan memanfaatlkan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, walau memang masih menyisakan berbagai kelemahan yang patut
diperhatikan dan dipertimbangkan. Untuk itu masyarakat harus melihat dari aspek
agama, hukum, sosial-budaya. Terutama menyangkut aspek agama dan hukum, apabila
agama sudah menghalalkan dan secara hukum sudah dilegalkan, maka setelah itu
tergantung setiap individu, apakah akan mengkonsumsi atau tidak berbagai
makanan hasil olahan dari produk tanaman transgenik tersebut berdasarkan sudut
pandang yang dimilikinya. Dengan
demikian tidak menimbulkan permasalahan yang berlarut-larut dan berkepanjangan
yang justru akan menyebabkan adanya konflik horizontal yang merugikan kita
semua. Sikap pro dan kontra wajar dan sah-sah saja sebagai salah satu hak asasi
setiap orang, sepanjang dilakukan berdasarkan aturan, etika dan saluran yang
benar.
Sikap-sikap seperti ini harus terus
dipupuk dan dikembangkan dalam dinamika masyarakat madani dewasa ini, karena
kedepan kita akan banyak dihadapkan pada masalah perkembangan IPTEK yang akan
banyak menyentuh ranah afektif. Ranah afektif yang dimaksud adalah seperti
sikap, nilai, mental, moral, dan etika (Anderson & Krathwohl, 2002;
Nuryani, 2005; Sudirman dkk, 1991 ) yang memerlukan sikap arif dan bijaksana
dalam menyikapinya. Ini semua adalah suatu pendidikan bagi masyarakat (non
formal) yang sangat perlu ditumbuh kembangkan.
Selanjutnya pada area pendidikan formal
(sekolah), terutama para pendidik (guru, dosen, instruktur) juga harus pandai
menyikapi masalah-masalah seperti ini, terutama guru biologi karena masalah
tanaman transgenik sangat berkaitan langsung dengan bidang biologi. Untuk itu
guru seyogyanya mengetahui dan mengikuti perkembangan tanaman transgenik
tersebut. Dari sisi materi berdasarkan kurikulum masalah tanaman transgenik ini
patut diajarkan sebagai suatu ilmu karena memang secara kurikulum terkait
dengan materi genetika ,bioteknologi, dan sistem pencernaan yang ada di
kurikulum, khususnya di SMA dan perguruan tinggi (PP No 19 Tahun 2005;
Syamsuri, 2007). Bahkan menurut Flores & Tobin (2002) menyatakan bahwa
materi ini (makanan hasil transgenik) adalah topik bahasan biologi yang sangat
menarik untuk dipelajari dan dapat meningkatkan serta kemampuan berpikir kritis (critical thinking)
pada siswa. Oleh karena itu sudah selayaknya materi tentang perkembangan
makanan tanaman transgenik diajarkan kepada siswa sebagai suatu pengayaan yang
dilakukan oleh pengajar. Kemudian yang menyangkut kajian aspek bioetika, agama,
hukum, filsafat, dan sosial-budaya juga perlu diberikan secara ringkas dan
proporsional sesuai perkembangan yang ada. Aspek yang terakhir ini perlu
diajarkan agar siswa mampu bersikap wajar dan proporsional terhadap tanaman
transgenik tersebut. Selain itu kita harus memberikan dan menanamkan pembelajaran
sikap dan pembentukan karakter kepada peserta didik sedini mugkin, karena
masalah sikap (ranah afektif) ini sangat kurang diperhatikan dalam dunia
pendidikan kita. Pendidikan kita lebih cenderung mengurusi hanya masalah aspek
kognitif saja.
E.
Tinjauan
Filsafat Mengenai Tanaman Transgenik
Secara
ontologi tanaman transgenik
adalah suatu produk rekayasa
genetika melalui transformasi gen dari makhluk hidup
lain ke dalam tanaman yang tujuannya untuk menghasilkan tanaman
baru yang memiliki sifat unggul yang
lebih baik dari
tanaman sebelumnya. Secara epistemologi,
proses pembuatan tanaman
transgenik sebelum dilepas ke masyarakat telah melalui hasil penelitian
yang panjang, studi kelayakan dan
uji lapangan dengan pengawasan yang ketat,
termasuk melalui analisis dampak
lingkungan untuk jangka pendek dan jangka
panjang. Secara aksiologi:
berdasarkan pendapat kelompok masyarakat yang pro dan kontra tanaman transgenik memiliki manfaat untuk
memenuhi kebutuhan pangan penduduk, tetapi manfaat tersebut belum teruji, apakah
lebih besar manfaatnya atau kerugiannya,. secara filsafat
masalah ini perlu dikaji lebih lanjut.
F.
Kajian
Hukum Mengenai Tanaman Transgenik
Di luar negeri telah dikeluarkan petunjuk dan
rekomendasi mengenai bioteknologi dan keamanan pangan. Amerika Serikat melalui
Food and Drug Administration (FDA) menangani khusus masalah tanaman transgenik.
Badan ini membuat pedoman keamanan pangan yang bertujuan untuk memberikan
kepastian bahwa produk baru (termasuk yang berasal dari hasil rekayasa
genetika) sebelum dikomersialkan produk tersebut harus aman untuk dikonsumsi
dan masalah keamanan pangan harus dukendalikan dengan baik. FDA akan melakukan
telaah ulang terhadap produk asal tanaman transgenik apabila terdapat
pengeluhan atau pengaduan dari publik yang disertai dengan data yang bersifat
ilmiah. Gen yang ditransfer pada tanaman menghasilkan tanaman transgenik oleh
FDA disepadankan dengan food additive yang dievaluasi secara substansi sepadan.
Apabila bahan pangan baru diketahui secara substansial sepadan dengan bahan
pangan yang telah ada, maka ketentuan keamanan bahan pangan tersebut sama
dengan ketentuan bahan pangan aslinya. Kesepadanan substansial ditentukan
berdasarkan : sifat fenotipik, Karekteristik molekuler, analisis kandungan
nutrisi, sifat potensial toksisitas dan non-toksisitas, sifat alergen dan
non-alergen, penggunaan kategori generaly regarded as save (GRAS) dan tidak
melakukan pelabelan bahan pangan yang berasal dari tanaman transgenik.
Badan pangan dunia, Food and Agriculture
Organization (FAO) memberikan beberapa petunjuk dan rekomendasi mengenai
bioteknologi dan keamanan pangan, yaitu: 1) Peraturan mengenai keamanan pangan
yang komprehensif dan diterapkan dengan baik merupakan hal yang penting untuk
melindungi kesehatan konsumen dimana semua negara harus dapat menempatkan
peraturan tersebut seimbang dengan perkembangan teknologi, 2) Penilaian
kesamaan untuk produk rekayasa genetika hendaknya berdasarkan konsep
substansial equivalen, 3) Pemindahan gen dari pangan yang menyebabkan alergi
hendaknya dihindari kecuali telah terbukti bahwa gen yang dipindahkan tidak
menunjukkan alergi, 4) Pemindahan gen dari bahan pangan yang mengandung alergen
ke organisme lain tidak boleh dikomersialkan, 5) Senyawa alergen pangan dan
sifat dari alergen yang menetapkan immuno genicity dianjurkan untuk
diidentifikasi, 6) FAO akan mengadakan lokakarya untuk membahas dan memutuskan
bilamana ada beberapa gen marka ketahanan antibiotik yang harus dihindarkan
dari tanaman pangan komersial, 7) Perlu ada pangkalan data (data base) tentang
pangan dari tanaman, mikroorganisme pangan, dan pakan, 8) Validasi metoda
sangat diperlukan, 9) Negara berkembang harus dibantu dalam pendidikan dan
pelatihan tentang keamanan pangan dan komponen pangan yang ditimbulkan oleh
modifikasi genetik, 10) Perlu ditingkatkan riset untuk pengembangan metode
untuk meningkatkan kemampuan dalam melakukan penilaian keamanan pangan untuk
produk rekayasa genetik.
Indonesia sendiri telah mengatur keamanan hayati dan
keamanan pangan suatu produk pertanian hasil rekayasa genetik seperti tanaman
transgenik. Sejak diterbitkan SK Mentan (No. 856/Kpts/HK330/9/1997), menurut
Hartiko (2000), di Indonesia sudah
ditanam 10 tanaman transgenik, antara lain jagung (4 jenis), kacang tanah,
kapas (2 macam), kakao, kedelai, padi, tebu, tembakau, ubi jalar, dan
kentang. Namun uji coba lapangan tanaman
transgenik di Indonesia masih belum transparan. (Berita Bumi, Oktober 1999
dalam Susiyanti, 2003). Untuk lebih mengoptimalkan dan pengawasan pemantauan
terhadap penggunaan tanaman transgenik, maka dibuat keputusan bersama Menteri
Pertanian, Menteri Kehutanan dan Perkebunan, Menteri Kesehatan dan Menteri
Negara Pangan dan Hortikultura tentang Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan
Produk Pertanian Hasil Rekayasa Genetika Tanaman No. 998.I/Kpts/OT.210/9/99;
790.a/Kptrs-IX/1999; 1145A/MENKES/SKB/IX/1999; 015A/NmenegPHOR/09/1999.
Keputusan bersama ini dimaksudkan untuk
mengatur dan mengawasi keamanan hayati dan keamanan pangan pemanfaatan produk
pertanian hasil rekayasa genetika agar tidak merugikan, mengganggu dan
membahayakan kesehatan manusia, keanekaragaman hayati (biodiversity) dan lingkungan (Jaya, 2008).
Pemerintah selanjutnya melegalkan penanaman kapas
transgenik jenis Bt melalui SK Menteri Pertanian No. 107/Kpts/KB/430/2/2001,
untuk ditanam sebagai varietas unggul di tujuh kabupaten di Sulawesi Selatan.
Namun keputusan tersebut, banyak ditentang oleh para aktifis lingkungan hidup.
Empat lembaga non-pemerintah/LSM (KONPHALINDO, YLKI, PAN Indonesia, dan ICEL)
terang-terangan menolak SK Menteri Pertanian No. 107/Kpts/KB/430/2/2001
tersebut tentang Pelepasan Terbatas Kapas Transgenik Bt DP 5690B sebagai
Varietas Unggul, dan ditanam di tujuh kabupaten di Sulsel (Intisari, 2003 dalam
Susiyanti, 2003). Hal ini dikarenakan penanaman kapas transgenik tersebut
dinilai belum melalui prosedur analisa
AMDAL (Analisisi Mengenai Dampak Lingkungan) yang dipersyaratakan bagi setiap
pelepasan jenis hewan atau tanam baru. (Anonim, 2006).
Peraturan yang dibuat untuk melindungi masyarakat
terhadap bahaya transgenik ternyata ditemukan dilakukan oleh PT Monagro Kimia
mengabaikan Surat Menteri Negara Lingkungan Hidup Sonny Keraf No.
B1882/MENLH09/2000 tertanggal 29 September 2000, yang menyatakan prosedur
analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) harus dilakukan atas tanaman
transgenik (Cahyadi, 2006). Sedangkan produk transgenik yang sebagian besar
impor juga saat ini telah bercampur dengan produk lokal sehingga sulit
dipisahkan dan dibedakan. Hal ini sebenarnya melanggar PP No. 69/1999 tentang
Label dan Iklan Pangan yang mengharuskan produk transgenik diberi label sebelum
diedarkan. (Anonim ,2008).
Berdasarkan peraturan pemerintah nomor 21 tahun 2005
tentang keamanan hayati produk rekayasa genetika, disebutkan sebelum produk
beredar, perlu diberlakukan pengkajian resiko dan pengujian terlebih dahulu.
Yang meliputi teknik perekayasaan, efikasi dan persyaratan keamanan hayati.
Untuk proses itu, peraturan pemerintah tadi juga sudah menunjuk Tim Teknis
Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan (TTKHKP) di bawah Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI). Namun sampai sekarang, tim ini belum juga terbentuk. Sehingga
produk rekayasa genetika bebas beredar di pasaran.
G.
Kajian
Sosial Budaya Mengenai Tanaman Transgenik
Kajian tentang untung ruginya penggunaan tanaman
transgenik dilihat dari unsur sosial-budaya masyarakat berkaitan erat dengan
unsur ekonomi dan politik. Vandana Shiva, ahli keanekaan hayati dari India
seperti dikutip Asiaweek mengatakan, produk rekayasa genetik yang dipatenkan
oleh perusahaan (industri besar) dan diklaim dapat meningkatkan perekonomian
dan kesejahteraan petani, sebaliknya justru berpotensi untuk meningkatkan
kelaparan dan kemiskinan petani karena paten yang dilakukan akan membuat petani
sulit mengakses benihnya. Semua harus dibayar mahal akibat ada royaltinya.
Kemiskinan dan kelaparan lebih merupakan dampak ketimpangan konsumsi antara
negara kaya dan miskin.
Dari segi politik, tanaman transgenik yang banyak
dikembangkan di negara maju yang memiliki tingkat teknologi lebih tinggi
membuat masyarakat di negara agraris yang sebagian besar adalah negara
berkembang (developing countries) memiliki ketergantungan yang sangat besar
pada negara maju. Hal ini juga yang menjadi pertimbangan para ilmuwan di negara
berkembang untuk berhati-hati pada penggunaan tanaman transgenik. Selain itu,
perdebatan masyarakat dalam menggunakan tanaman transgenik juga berkaitan
dengan adanya kearifan lokal terhadap penjagaan plasma nutfah di lokal
daerahnya. Manusia merupakan agian dari ekosistem. Dan seperti halnya spesies
lain, manusia merupakan obyek dari hukum-hukum alam yang tidak akan pernah
berubah. Nilai moral inilah yang menyebabkan manusia sangat menjaga hubungannya
dengan alam sekitar. Pada hakekatnya perbuatan yang membahayakan eksistensi
alam, akan membahayakan eksistensi manusia itu sendiri.
H.
Kajian
Agama Mengenai Tanaman Transgenik
Kajian agama yang ditemukan mengenai penggunaan
tanaman transgenik adalah dari kajian agama Islam, agama Hindu dan dari kajian
agama Yahudi. Pemeluk agama Islam pada dasarnya tidak keberatan dengan
penggunaan tanaman transgenik, mengingat manfaatnya yang lebih besar daripada
mudharatnya. Namun penggunaan itu harus
dilakukan hati-hati mengingat gen yang ditransfer dapat berasal dari organisme
tanaman lain atau justru hewan lain. Sepanjang gen asal tidak berasal dari
hewan yang diharamkan, akan diperbolehkan. Tidak seperti kasus penyedap rasa
(monosodium glutamat) yang diproduksi dengan menggunakan enzim yang diisolasi
dari gen babi pada awal tahun 2001 yang dikategorikan sebagai haram. Adapun MUI
sendiri belum mengeluarkan fatwa mengenai penggunaan tanaman transgenik, namun
prinsip kehati-hatian selalu diutamakan. Status GMO akan halal sepanjang sumber gen dan seluruh proses
rekayasanya halal (Republika, 2004 dalam
Cahyadi, 2006).
Menurut kajian agama Hindu bahwa tanaman transgenik
salah satunya disinyalir dapat menyebabkan terputusnya rantai ekosistem karena
sifatnya yang resisten, ini dapat menyebabkan ketidakseimbangan lingkungan.
Ketidakseimbangan lingkungan atau terganggunya homeostasis sangat bertentangan
dengan konsep “Tri Hita Karana“ yaitu
suatu konsep yang merupakan ajaran dalam agama Hindu yang pada prinsipnya
mengajarkan adaya keseimbangan hubungan
antara manusia dengan Tuhan,
manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan lingkungannya. Ini berarti
ada tingkat tropik tertentu yang mati atau berkurang, dengan demikian berarti
membunuh organisme tertentu yang tidak diharapkan. Ini juga bertentangan dengan
konsep ajaran “ Ahimsa “ dalam agama Hindu yang berarti tidak boleh membunuh
organisme secara sembarangan tanpa tujuan yang jelas, apalagi dapat menyebabkan
gangguan keseimbangan lingkungan yang akan membawa malapetaka dan bencana bagi
umat manusia (Karmana, 2009). Agama Yahudi yang mensyaratkan pemeluknya untuk
mengkonsumsi makanan yang kosher (Kosher law) , mengijinkan penyisipan gen dari
sumber makanan yang non-kosher sepanjang tidak merubah rasa dan penampakan.
Demikianlah paparan tulisan ini yang pada dasarnya mencoba untuk membahas
mengenai tanaman transgenik yang merupakan salah satu produk kemajuan
bioteknologi dari aspek ilmu biologi dan aspek pendidikan dalam arti luas
terutama terkait dengan sikap masyarakat (pendidikan non formal) dan sikap
pengajar atau guru (pendidikan formal) terhadap penggunaan tanaman transgenik.
Selain itu juga memaparkan dan mengkaji penggunaan tanaman transgenik tersebut
dari aspek kajian bioetika dan beberapa tinjauan yang terkait seperti aspek
filsafat, hukum, sosial-budaya, dan agama.
I.
Kajian
bioetika terhadap penggunaan tanaman transgenik di Indonesia
Selain masalah sikap pro dan kontra yang berkaitan
dengan masalah kesehatan dan lingkungan, penggunaan tanaman transgenik juga
menimbulkan masalah sosial-religius, menyangkut boleh tidaknya dikonsumsi
menurut ajaran agama masing-masing, masalah etika, masalah ekonomi-politik yang
harus dikaji secara mendalam. (Cahyadi, 2006). Seperti telah disampaikan di
latar belakang, bahwasanya penggunaan produk transgenik juga berkaitan erat
dengan etika pangan dan etika pembahasan mengenai penggunaan tanaman transgenik
tidak lagi hanya berupa keamanan pangan, melainkan juga mempertimbangkan hak
konsumen dan dampak lingkungan dari pengembangan dan komersialisasi GMO. Untuk
itu pada bagian ini akan dipaparkan pandangan atau kajian dari aspek bioetika
serta beberapa tinjauan yang terkait, seperti tinjauan aspek filsafat, hukum,
sosial-budaya, dan agama terhadap penggunaan tanaman transgenik.
1.
Kajian
Bioetika
Bioetika pada dasarnya membahas etika atau moral
yang mencakup segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan. Pada awalnya
bioetika dikemukakan oleh V.P. Potter dan merupakan ilmu yang digunakan untuk
mempertahankan hidup dalam mengatasi kepunahan lingkungan dan mengatasi
kepunahan manusia. Namun dalam perkembangannya, bioetika cenderung mengarah
pada penanganan isu atau nilai etika yang timbul karena perkembangan iptek dan
biomedis (Fitmawati, dkk, 2002).
Dalam pengkajian ini, maka terlebih dahulu kita
melihat pada makna dasar dari tanaman transgenik. Tanaman transgenik merupakan
salah satu produk bioteknologi. Secara aksiologis, bioteknologi adalah teknik
yang mengubah suatu bahan mentah melalui proses transformasi biologi untuk
menghasilkan barang dan jasa yang bermanfaat demi kelangsungan hidup manusia sepanjang
hayatnya dengan tujuan akhir agar manusia dapat survive. Dengan adanya
bioteknologi, juga memudahkan manusia dalam mengolah pertanian, dengan lahan
yang sempit, ternyata tanaman yang dihasilkan lebih banyak dan berkualitas dari
segi ukuran, rasa, mutu, serta tahan hama penyakit. Sedangkan di bidang
kesehatan, sudah jelas dapat mengatasi penyakit dengan melakukan pengubahan
terhadap susunan gen-gen yang termutasi. Produksi hormon insulin untuk pengidap
diabetes mellitus juga adanya pra-Implantasi Genetik Diagnosis yang
memungkinkan stem cells memproduksi sel-sel yang diacu karena kekurangan.
Dengan kecerdasan, maka manusia dapat mencari dan mengembangkan ilmu, termasuk
bioteknologi dan rekayasa genetika tanaman setinggi-tingginya demi
kesejahteraan manusia sendiri. Hal ini sesuai fitrah bahwa semua yang ada dalam
diri adalah pemberian-Nya, maka ilmu pengetahuan pun akan dapat sejalan dengan
etika dan moral.
Namun setinggi apapun keilmuan kita, dan keinginan
untuk mengembangkan ilmu, masih ada tanggung jawab moral kita yang harus
diemban terhadap umat manusia dan lingkungan (alam). Seperti telah dikemukakan
di atas, masih banyak pro dan kontra yang berkaitan dengan penggunaan tanaman
transgenik yang berkaitan dengan bidang kesehatan, lingkungan, ekonomi, budaya
dan politik. Hal tersebut hendaknya menjadikan ilmuwan menjadi arif dalam
menyikapi penggunaan tanaman transgenik ini. Penggunaan tanaman transgenik yang
menyebabkan penyakit pada diri manusia, hendaknya dihentikan, meskipun
berkaitan dengan penelitian dan kemajuan ilmu bioteknologi, hal tersebut
merupakan tantangan. Selain bertanggungjawab terhadap kesehatannya, manusia
juga masih memilki tanggung jawab yang besar terhadap alam. Karena manusia
hidup dari hubungan saling bergantung dengan alam. Apabila alam punah, apabila
plasma nutfah yang ada di alam lenyap, maka bisa dipastikan manusia juga akan
lenyap. Penggunaan dan distribusi besar-besaran
tanaman transgenik tanpa meneliti resikonya terhadap alam secara mendetail
menyebabkan manusia menjadi tidak beretika terhadap alam. Industrialisasi
tanaman transgenik yang tergesa-gesa, karena ingin mencapai kesejahteraan,
sehingga mengesampingkan semua pertimbangan di atas juga tidak beretika. Karena
efek domino yang ditimbulkan dalam jangka panjanglah yang harus dikaji dan
diputuskan bagaimana penggunaannya.
Mengutip pernyataan Nasoetion (1998 dalam Fazari,
2006) secanggih apapun teknologi pastilah akan berdampak terhadap lingkungan.
"Setiap waktu ilmuwan akan mengadakan penelitian dia harus sadar akan
kedudukannya sebagai manusia di bumi ini. Dia harus sadar bahwa ilmu
pengetahuan yang dapat dikuasainya hanyalah sebagian kecil saja dari Al-Ilm,
ilmu yang dikuasai oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, dan bahwa ia hanya pesuruh-Nya
di bumi ini yang diminta untuk menjaga keseimbangan antara mahluk yang ada di
bumi ini", merupakan suatu falsafah yang baik tentang bagaimana kita
menyikapi pengembangan ilmu dalam bidang rekayasa genetika (tanaman transgenik)
ini.
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan pembahasan mengenai tanaman transgenik, sikap
masyarakat dan kajian aspek bioetika di atas, maka dapat ditarik simpulan
sebagai berikut:
1. Sikap
pro masyarakat terhadap penggunaan tanaman transgenik berkaitan dengan
keuntungan dari segi kemanfaatan pada bidang pertanian dan kesehatan, sedangkan
sikap kontra tanaman transgenik berkaitan dengan uji keamanan pangan untuk
kesehatan dan keamanan aspek lingkungan.
2. Secara
bioetika, penggunaan tanaman transgenik meskipun dapat meningkatkan kualitas
hidup namun harus dievaluasi dengan hati-hati dengan mempertimbangkan aspek
hukum (legal), aspek sosial budaya (termasuk faktor ekonomi dan politik), dan
aspek etika terhadap lingkungan.
3. Tanaman
transgenik adalah tanaman hasil rekayasa gen dengan cara disisipi satu atau
sejumlah gen (transgene) yang dapat diisolasi dari tanaman tidak sekerabat atau
spesies yang lain sama sekali.
Daftar
pustaka
Anderson,
L.W. & Krathwohl, D.R. (Ed). 2001. A Taxonomy For Learning, Teaching, and
Assessing. New York: Addison Wesley Longman,Inc.
Anonim.
2001. Tanaman Transgenik dan UU Varietas Tanaman: Kontroversi Tiada Akhir.
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0111/26/ipt01.html. Tanggal akses: 10
April 2009.
Anonim,
2006. Menimbang Tanaman Transgenik. http:// sandaljepit.wordpress.com/2006/08/08
menimbang-tanaman-transgenic/. Tanggal akses : 10 April 2009.
Anonim,
2008. Kedelai Transgenik yang unik.
http;//www.indosiar.com/news/anda-perlu-tahu/68021/kedelai-transgenik-yang-unik.
Tanggal akses: 10 april 2009.
Brandner,
D.L. 2002. Detection of Genetically Modified Food: Has Your Food Been
Genetically Modified?. The American Biology Teacher. 64 (6): 433-442.
Cahyadi,
F. 2006. Dampak Lingkungan Tanaman Transgenik.
http://www.satudunia.net/node/1178. Tanggal akses: 10 April 2009
Darmasiwi,
S. 2007. Amankah Mengkonsumsi Tanaman Transgenik?
http://id.shvoong.com/exact-sciences/biology/1626834-amankah-mengkonsumsi-tanaman-transgenik/.
Tanggal akses: 25 April 2009
Elrod,
S. & Stansfield, W. 2007. Genetika. Edisi Keempat. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar