BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang
Pembelajaran sebagai bagian integral dari
pendidikan harus mampu melaksanakan proses pembelajaran yang berkualitas yang
dnikmati oleh setiap warga. Konsep pendidikan untuk semua (education for all), mengandung makna bahwa pendidikan harus mampu melayani dan mengembangkan
siswa sesuai dengan potensi, minat dan bakat yang dimilikinya.
Pendidikan
sebagai upaya untuk
memanusiakan manusia, memiliki
makna bahwa proses pendidikan dan pembelajaran yang dilakukan harus bisa
memberikan pelayanan yang
optimal kepada setiap
warga belajar (siswa) baik untuk memenuhi kebutuhan yang
bersifat kelompok maupun kebutuhan individual. Salah satu implikasi untuk mewujudkan
pelayanan yang dapat memenuhi karakteristik siswa
yang berbeda-beda itu
adalah dengan menerapkan model mengajar secara berkelompok dan perorangan atau disebut dengan keterampilan mengajar
kelompok kecil dan perorangan (Sukirman, 2012:7).
Pendidikan dan pembelajaran di satu sisi harus dapat mengantarkan manusia (siswa) dalam kebersamaan, artinya mengembangkan kehidupan sosial.
Di sisi lain bahwa setiap manusia (siswa) juga memiliki kebutuhan yang
bersifat individual. Pendidikan dan
pembelajaran yang efektif
tentu saja adalah yang dapat memenuhi atau memfasilitasi
adanya kebersamaan disamping terpenuhinya kebutuhan secara individual.
Dalam pengajaran klasikal, kebutuhan siswa
secara individu belum dapat terlayani secara maksimal. Guru biasanya hanya
memperhatikan kebutuhan siswa pada umumnya
di kelas yang dia ajar.
Adapun sifat-sifat atau karakteristik
yang bersifat individual belum dapat terlayani secara optimal. Oleh karena itu
guru secara profesional disamping harus
mampu melayani siswa secara klasikal juga jangan mengabaikan
kebutuhan siswa secara individual (Ayu, 2013:3)
Keterampilan
dasar mengajar kelompok
kecil dan perorangan adalah salah satu cara yang dapat dilakukan untuk dapat memfasilitasi sistem pembelajaran yang dibutuhkan oleh siswa baik secara
klasikal maupun individu. Oleh karena itu keterampilan ini harus dilatih dan dikembangkan, sehingga
para calon guru atau guru
dapat memiliki banyak pilihan untuk dapat melayani siswa dalam melakukan proses
pembelajaran.
Dalam kegiatan pembelajaran ini secara
khusus kita akan mempelajari, mendiskusikan, dan melalui pendekatan
pembelajaran mikro berlatih untuk menguasainya (Sukirman, 2012:7).
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Micro Learning by Teaching
a.
Pengertian Model Pembelajaran Micro
Sukirman (2012:89),
setidaknya terdapat tiga perspektif para ahli mengenai pengertian
pembelajaran mikro, yaitu sebagai: teknik pendidikan guru; teknik melatih
guru; prosedur melatih guru. Perspektif pertama, tercermin dari
pengertian pembelajaran mikro yang dikemukakan oleh M.B. Buch (1968) dan Bush
(1968). Hampir senada mereka mengemukakan pembelajaran mikro adalah
teknik pendidikan guru, yang memungkinkan guru dapat menerapkan keterampilan
yang jelas dalam kurun waktu 5 sampai 10 menit pada sekelompok kecil siswa yang
sesungguhnya, dan terdapat kesempatan untuk mengamati hasilnya dengan
menggunakan rekaman video.
Perspektif kedua, dapat
ditemukan pada definisi yang dikemukakan oleh para ahli berikut. Pass,
B.K. (1976) mengemukakan pembelajaran mikro adalah sebuah teknik pelatihan
yang membutuhkan murid-guru untuk mengajar sebuah konsep tunggal dengan
menggunakan keterampilan mengajar
tertentu pada sejumlah kecil siswa dalam durasi waktu yang singkat. Gagasan
yang mendasari teknik ini adalah bahwa tindakan pengajaran terdiri dari
keahlian yang berbeda. Setiap keterampilan dapat dikembangkan melalui pelatihan
secara terpisah. Anggapan dasarnya adalah bahwa, semakin banyak keterampilan
dilatihkan kepada seseorang, maka dia akan semakin efisien menjadi seorang
guru.
Perspektif ketiga,
pengertian pembelajaran mikro dapat ditelusuri dari pendapat-pendapat berikut.
Pembelajaran mikro adalah prosedur praktek mengajar dengan pengurangan waktu
dan jumlah murid untuk keterampilan mengajar yang spesifik. Situasi pengajaran
dibuat sederhana dan dapat dikontrol, Pengontrolan biasanya menggunakan Closed
Circuit Television (CCTV) untuk memberikan umpan balik secara langsung
terhadap kinerja guru.
Berdasarkan
definisi-definisi tersebut, dapat dikemukakan pengertian pembelajaran
mikro mengandung makna sebagai berikut:
1.
Merupakan teknik melatih guru.
2.
Durasi setiap pembelajaran mikro adalah 5
sampai 10 menit.
3.
Perangkat pelatihan sangat individual.
4.
Hanya satu keahlian yang dilatihkan setiap
kali berlatih.
5.
Jumlah siswa sebanyak 5 sampai dengan 10
orang.
6.
Menggunakan rekaman video dan CCTV
untuk melakukan pengamatan secara objektif.
7.
Umpan balik dilakukan langsung setelah
praktek selesai
b. Tujuan Pembelajarn Micro
Menurut Sukiman (2012:33) Pembelajaran mikro sebagai matakuliah yang tak
terpisahkan dari struktur kurikulum program pendidikan keguruan, seperti
dijelaskan di atas yaitu diarahkan dalam upaya memfasilitasi mahasiswa calon guru untuk menguasai dan memiliki kompetensi
yang diharapkan, yaitu:
a) Mempersiapkan, membina dan
meningkatkan
mutu
guru
agar
dapat
memenuhi standar kompetensi pedagogik.
b)
Mempersiapkan,
membina
dan
meningkatkan
mutu
guru
agar
dapat
memenuhi standar kompetensi kepribadian
c)
Mempersiapkan,
membina
dan
meningkatkan
mutu
guru
agar
dapat
memenuhi standar kompetensi profesional.
d)
Mempersiapkan,
membina
dan
meningkatkan
mutu
guru
agar
dapat
memenuhi standar kompetensi sosial.
c.
Karakteristik
Pembleajaran Micro
Karakteristik pembelajaran mikro, yaitu: Real Teaching, Specific control of teaching practice, Specific
teaching skills, Scaled down teaching, Individualized device, Providing
feedback dan Device for preparing teachers. Ketujuh karakteristik tersebut dijelaskan
sebagai berikut:
1)
Real Teaching yaitu Model Micro terjadi
dalam situasi kelas nyata dengan melibatkan beberapa siswa dan guru.
2)
Specific control of teaching practice yaitu fokus model micro terutama pada
pelatihan dengan pengendalian khusus dari praktek dengan manipulasi yang tepat
terhadap metode, umpan balik, dan pengawasan.
3)
Specific
teaching skills Model
Micro yaitu memfokuskan pada pengembangan keterampilan mengajar atau tugas tertentu, bukan pada pengembangan kemampuan siswa.
Keterampilan mengajar tersebut antara lain: Keterampilan membuka pembelajaran (Set induction), Keterampilan menjelaskan (Explaining), Keterampilan menutup pembelajaran (Closure), Keterampilan
bertanya (Questioning), Keterampilan demonstrasi (Demonstration), Keterampilan
mengadakan variasi (Stimulus variation), Keterampilan memberi penguatan
(Reinforcement), Keterampilan menggunakan papan tulis (Using Blackboard).
4)
Scaled down
teaching yaitu Pengurangan
skala pengajaran dilakukan dengan: mengurangi ukuran kelas 5 sampai 10 orang
siswa, mengurangi durasi dari periode 5 sampai 10 menit, dan mengurangi ukuran
topik/materi yang akan diajarkan.
5)
Individualized
device yaitu Model Micro dilakukan untuk
mengembangkan keterampilan mengajar guru secara individual.
6)
Providing
feedback yaitu umpan
balik diberikan dengan segera setelah guru mempraktekan keterampilan mengajar,
sehingga saran perbaikan dapat segera diketahui.
7)
Device for
preparing teachers yaitu Model Micro sangat tepat untuk menyiapkan guru yang efektif
dalam mengajar.
Ketujuh
karakteristik tersebut telah dengan tegas membedakan antara pembelajaran mikro
(microteaching) dengan pembelajaran nyata (real teaching). Karakteristik
ini perlu diperhatikan agar pembelajaran mikro dapat dilaksanakan dengan
efektif (Ayu, 2011:3).
d. Langkah-langkah Pembelajaran Micro
Model Micro
learning by teaching
merupakan sebuah proses praktek mengajar dengan jumlah murid yang sedikit,
durasi waktu yang singkat dan fokus pada keterampilan
mengajar yang sempit dan
spesifik. Sebagai sebuah proses, pelaksanaan micro teaching dilakukan
melalui tujuh tahapan. Tujuh tahapan micro teaching tersebut
merupakan sebuah siklus. Siklus ini dapat diulang sesuai dengan kebutuhan
perbaikan. Berikut ini dijelaskan tahapan-tahapan atau langkah-langkah pembelajaran
mikro (microteaching):
a)
Modeling the Skill yaitu tahap ini penting untuk mengarahkan peserta
pelatihan kepada keterampilan mengajar yang akan dipraktekkan. Tahapan ini
disebut Modeling. Terdapat dua jenis modeling, yaitu Perceptual Model
dan Conceptual Model. Model pertama disajikan dengan cara demonstrasi
dan secara visual dirasakan oleh peserta pelatihan. Model kedua, disajikan
dalam bentuk bahan tertulis dan dikonsep oleh peserta pelatihan.
b)
Planning a micro-lesson yaitu pada tahap ini ditentukan
materi pelajaran yang tepat yang dapat memaksimalkan latihan keterampilan
mengajar, dalam durasi waktu 5 sampai 7 menit.
c)
The teaching session yaitu rencana pelajaran pada tahap
ini dilaksanakan di hadapan supervisor atau teman sebaya. Penampilan guru yang
mempraktekkan keterampilan mengajar diamati dan dicatat. Lembar evaluasi, tape
recorder, dan/atau video tapes dapat digunakan untuk keperluan
tesebut
d)
The critique session yaitu Supervisor dan/atau kelompok
teman sebaya membahas kinerja guru mikro. Umpan balik dan poin-poin penting
disampaikan kepada guru mikro untuk diperbaiki. Alat evaluasi memberikan
kesempatan langka kepada guru mikro untuk melihat penampilannya secara
objektif. Guru mikro tidak diberi kesempatan untuk mengajukan pembelaan
diri. Ini adalah kekuatan dan kekhasan dari micro teaching.
e)
The re-planning session yaitu Guru mikro menyusun rencana
pengajaran berdasarkan umpan balik yang ditawarkan dalam critique session.
Waktu yang disediakan untuk tahap ini adalah 5 sampai 7 menit.
f)
The re-teaching session yaitu langkah ini memberikan
kesempatan kepada guru mikro untuk mengajarkan unit yang sama, dan keterampilan
yang sama. Namun tentu saja penampilan guru mikro pada sesi ini harus sudah
memperhatikan umpan balik dari supervisor dan/atau teman sebaya. Pada sesi ini,
pengawas dan/atau pengamat teman sebaya mengevaluasi kinerja guru mikro
menggunakan alat evaluasi.
g)
The re-critique session yaitu prosedur yang sama diadopsi sebagaiman
disebutkan dalam critique session (Tahap-4). Guru mikro, kembali
mendapat umpan balik dan mengetahui sejauh mana perbaikannya. Langkah ini
memiliki potensi memotivasi guru-mikro untuk meningkatkan penampilannya di masa
yang akan datang
e. Prinsip Pembelajaran Micro
Neeraja, K.P.
(2008:290 dalam Ayu 2013:14) mengemukakan dalam pelaksanaan microteaching
perlu memperhatikan empat prinsip yaitu:
a)
Enforcement
Umpan balik (feedback), dan re-teaching, akan membuat pembelajaran menjadi sempurna.
Umpan balik (feedback), dan re-teaching, akan membuat pembelajaran menjadi sempurna.
b)
Practice and drill
Mengajar adalah keterampilan yang
kompleks yang membutuhkan latihan dan praktek yang konsisten. Latihan
dilakukan terhadap setiap tugas atau keterampilan kecil. Dengan latihan yang konsisten
akan memperoleh penguasaan keterampilan mengajar yang utuh.
c)
Continuity Microteachig merupakan proses yang berkesinambungan: teaching-feedback-re-teaching-feedback
sampai kesempurnaan tercapai.
d)
Mroscopic supeicrvision
Supervisor memiliki jadwal observasi
untuk membimbing dan membuat penilaian pada skala penilaian tertentu.
Supervisor mengamati semua poin penting, memberikan perhatian penuh pada satu
titik pada suatu waktu.
f.
Pembelajaran yang Efektif
Dari
sekian aspek yang
harus dilakukan dan
dikuasai oleh setiap peserta dalam tahap persiapan
pembelajaran mikro yaitu menguasai ”jenis-jenis keterampilan dasar mengajar”. Sasaran
dari pembelajaran mikro
antara lain yaitu mempersiapkan, membina dan
meningkatkan kemampuan mengajar. Adapun setiap keterampilan dasar mengajar
adalah merupakan unsur yang diterapkan dalam proses pembelajaran. Oleh karena
itu jika berbicara masalah kemampuan mengajar, berarti antara lain berbicara
keterampilan dasar mengajar.
Untuk menguasai secara profesional terhadap
setiap jenis keterampilan dasar mengajar, ada dua hal sebagai prasyaratnya yaitu:
a) Menguasai dasar-dasar teori/konsep, kaidah, hukum atau
karakteristik setiap jenis keterampilan dasar mengajar;
b) Melakukan proses
latihan yang dilakukan secara terencana dan sistematis, mulai dari latihan
dalam bentuk simulasi Pembelajaran (mikro), latihan terbimbing dan latihan mandiri.
Proses latihan tidak cukup hanya dengan satu atau
dua kali latiha, akan tetapi harus
terus menerus mengembangkan kemampuan
baik melalui program pra-jabatan maupun dalam jabatan.
B. Prolem
Based Learning
a. Sejarah Problem Based Learning
Sejarah Metode
Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)
Pembelajaran Berbasis Masalah dirintis dalam ilmu kesehatan di McMaster University di Kanada pada tahun 1960-an yang diresmikan pada tahun 1968. (Neufeld & Barrows, 1974), karena siswa tidak mampu menerapkan sejumlah besar mereka pengetahuan ilmiah dasar untuk situasi klinis. Tak lama kemudian, tiga sekolah medis lain University of Limburg di Maastricht (Belanda), University of Newcastle (Australia), dan University of New Mexico (Amerika) mengambil McMaster model pembelajaran berbasis masalah. (diadopsi oleh lain program-program sekolah kedokteran (Barrows, 1996) dan juga telah diadaptasi untuk instruksi sarjana (Yuni, 2012:2).
Pembelajaran Berbasis Masalah dirintis dalam ilmu kesehatan di McMaster University di Kanada pada tahun 1960-an yang diresmikan pada tahun 1968. (Neufeld & Barrows, 1974), karena siswa tidak mampu menerapkan sejumlah besar mereka pengetahuan ilmiah dasar untuk situasi klinis. Tak lama kemudian, tiga sekolah medis lain University of Limburg di Maastricht (Belanda), University of Newcastle (Australia), dan University of New Mexico (Amerika) mengambil McMaster model pembelajaran berbasis masalah. (diadopsi oleh lain program-program sekolah kedokteran (Barrows, 1996) dan juga telah diadaptasi untuk instruksi sarjana (Yuni, 2012:2).
b.
Pengertian Problem Based Learning
Menurut (Hasibuan dalam Suherman 2003:7) Model pembelajaran dimaksudkan
sebagai pola interaksi siswa dengan guru di dalam kelas yang menyangkut
strategi, pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran yang diterapkan dalam
pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di kelas. Konsep yang dikemukakan
menjelaskan bahwa Problem Based Learning adalah suatu bentuk bagaimana
interaksi yang tercipta antara guru dan siswa berhubungan dengan strategi,
pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran yang digunakan dalam proses
pembelajaran.
c.
Tujuan Problem Based Learning
Tujuan Metode Pembelajaran Berbasis Masalah Departemen Pendidikan
Nasional (2003) Pembelajaran berbasis masalah membuat siswa menjadi pembelajar
yang mandiri, artinya ketika siswa belajar, maka siswa dapat memilih strategi
belajar yang sesuai, terampil menggunakan strategi tersebut untuk belajar dan
mampu mengontrol proses belajarnya, serta termotivasi untuk menyelesaikan
belajarnya itu. Dari pengertian ini, dikatakan bahwa tujuan utama pembelajaran
berbasis masalah adalah untuk menggali daya kreativitas siswa dalam berpikir
dan memotivasi siswa untuk terus belajar (Yuni 2012:17)
Dari definisi di atas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa Pembelajaran berbasis masalah (problem based learning)
bertujuan untuk:
a)
Membantu
siswa mengembangkan ketrampilan berfikir dan ketrampilan pemecahan masalah,
b)
Belajar
peranan orang dewasa yang otentik,
c)
Menjadi
siswa yang mandiri,
d)
Untuk
bergerak pada level pemahaman yang lebih umum, membuat kemungkinan transfers
pengetahuan baru,
e)
Mengembangkan
pemikiran kritis dan keterampilan kreatif
f)
Meningkatkan
kemampuan memecahkan masalah
g)
Meningkatkan
motivasi belajar siswa
h)
Membantu
siswa belajar untuk mentransfer pengetahuan dengan situasi baru.
d.
Ciri-ciri Problem Based Learning
a)
Pembelajaran
berpusat dengan masalah.
b)
Masalah
yang digunakan merupakan masalah dunia sebenarnya yang mungkin akan dihadapi oleh
siswa dalam kerja profesional mereka di masa depan.
c)
Pengetahuan
yang diharapkan dicapai oleh siswa saat proses pembelajaran disusun berdasarkan
masalah.
d)
Para
siswa bertanggung jawab terhadap proses pembelajaran mereka sendiri.
e)
Siswa
aktif dengan proses bersama.
f)
Pengetahuan
menyokong pengetahuan yang baru.
g)
Pengetahuan
diperoleh dalam konteks yang bermakna.
h)
Siswa
berpeluang untuk meningkatkan serta mengorganisasikan pengetahuan.
i)
Kebanyakan
pembelajaran dilaksanakan dalam kelompok kecil.
e.
Langkah-langkap Penerapan Problem Based
Learning
Langkah-langkah Probem Based learning ini paling sedikit
ada delapan tahapan, yaitu:
a)
Mengidentifikasi
masalah,
b)
Mengumpulkan
data,
c)
Menganalisis
data,
d)
Memecahkan
masalah berdasarkan pada data yang ada dan analisisnya,
e)
Memilih
cara untuk memecahkan masalah,
f)
Merencanakan
penerapan pemecahan masalah,
g)
Melakukan
ujicoba terhadap rencana yang ditetapkan, dan
h)
Melakukan
tindakan (action) untuk memecahkan masalah.
f.
Kriteria Problem Based Learning
a)
Guru
memulai sesi awal PBL dengan presentasi permasalahan yang akan dihadapi oleh
siswa.
b)
Siswa
terstimulus untuk berusaha menyelesaikan permasalahan di lapangan.
c)
Siswa
mengorganisasikan apa yang telah mereka pahami tentang permasalahan dan mencoba
mengidentifikasi hal-hal terkait.
d)
Siswa
berdiskusi dengan mengajukan pertanyaan tentang hal-hal yang tidak mereka
pahami.
e)
Guru
mendampingi siswa untuk fokus terhadap pertanyaan yang dianggap penting.
f)
Setelah
periode self-study, sesi kedua dilakukan.
g)
Pada
awal sesi ini siswa diharapkan dapat membagi pengetahuan baru yang mereka
peroleh.
h)
Siswa
menguji validitas dari pendekatan awal dan menyaringnya.
i)
Siswa
berlatih mentransfer pengetahuan dalam konteks nyata melalui pelaporan di
kelas.
Dalam Problem Based Learning, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah
sebagai berikut.
a)
Membaca
dan menganalisis skenario dan situasi masalah.
Periksa pemahaman Anda tentang skenario dengan mendiskusikan hal itu dalam kelompok Anda. Sebuah upaya kelompok mungkin akan lebih efektif dalam menentukan apa faktor-faktor kunci dalam situasi ini. Karena ini adalah situasi pemecahan masalah nyata, grup Anda akan harus secara aktif mencari informasi yang diperlukan untuk memecahkan masalah.
Periksa pemahaman Anda tentang skenario dengan mendiskusikan hal itu dalam kelompok Anda. Sebuah upaya kelompok mungkin akan lebih efektif dalam menentukan apa faktor-faktor kunci dalam situasi ini. Karena ini adalah situasi pemecahan masalah nyata, grup Anda akan harus secara aktif mencari informasi yang diperlukan untuk memecahkan masalah.
b)
Daftar
hipotesis, ide, atau firasat tulis dalam
daftar teori atau hipotesis tentang penyebab masalah atau ide-ide tentang
bagaimana untuk memecahkan masalah. Anda juga akan mendukung atau menolak
ide-ide sebagai hasil penyelidikan Anda. Daftar ide yang berbeda lain yang
perlu ditangani.
c)
Daftar
apa yang dikenal buat pos berjudul "Apa yang kita ketahui?" pada
selembar kertas. Kemudian temukan informasi yang terkandung dalam skenario.
d)
Mengembangkan
sebuah pernyataan masalah suatu pernyataan masalah harus berasal dari analisis
Anda apa yang Anda ketahui. Dalam satu atau dua kalimat Anda harus dapat
menjelaskan apa yang grup Anda sedang mencoba untuk menyelesaikan, memproduksi,
menanggapi, tes, atau mencari tahu. Pernyataan masalah mungkin harus direvisi
sebagai informasi baru ditemukan dan dibawa ke menanggung pada situasi.
e)
Daftar
apa yang dibutuhkan. siapkan daftar pertanyaan Anda pikir perlu dijawab untuk
memecahkan masalah. Rekam mereka di bawah daftar kedua berjudul: "Apa yang
kita perlu tahu?" Beberapa jenis pertanyaan yang mungkin sesuai. Beberapa
orang mungkin alamat konsep atau prinsip-prinsip yang perlu dipelajari untuk
mengatasi situasi. Pertanyaan lain mungkin dalam bentuk permintaan untuk
informasi lebih lanjut. Pertanyaan-pertanyaan ini akan membimbing pencarian
yang mungkin akan terjadi on-line, di perpustakaan, atau dalam pencarian
out-of-kelas yang lain.
f)
Daftar
tindakan yang mungkin. Daftar rekomendasi, solusi, atau hipotesis di bawah
judul: "Apa yang harus kita lakukan?". Daftar rencana Anda untuk
penyelidikan. Rencana ini mungkin termasuk mempertanyakan ahli, mendapatkan
data online, atau mengunjungi perpustakaan.
g)
Mengumpulkan
dan Menganalisis informasi. Bagilah tanggung jawab untuk mengumpulkan,
mengorganisir, menganalisis, dan menafsirkan informasi dari banyak sumber.
Menganalisis informasi yang anda kumpulkan. Anda mungkin perlu merevisi
pernyataan masalah. Anda dapat mengidentifikasi laporan masalah yang lebih.
Pada titik ini, grup Anda mungkin akan merumuskan dan menguji hipotesis untuk
menjelaskan masalah. Beberapa masalah mungkin tidak memerlukan hipotesis, bukan
solusi yang dianjurkan atau pendapat (berdasarkan data riset Anda) mungkin
tepat.
Menyajikan temuan-temuannya. Siapkan laporan
di mana Anda membuat rekomendasi, prediksi, kesimpulan, atau solusi lainyang
tepat untuk masalah berdasarkan data Anda dan latar belakang. Bersiaplah untuk
mendukung rekomendasi Anda. Jika sesuai, pertimbangkan presentasi multimedia
dengan menggunakan gambar, grafik, atau suara (Harsono, dkk, 2005:36-44).
C. Project
Based Learning
a.
Pengertian Project Based Learning
Pembelajaran berbasis proyek merupakan model pembelajaran
yang memberikan kesempatan
kepada guru untuk mengelola pembelajaran di kelas dengan melibatkan kerja
proyek (Isriani dan Dewi, 2012: 127). Menurut Mahanal (2009: 2)
pembelajaran PBL secara umum memiliki pedoman langkah: Planning
(perencanaan), Creating (mencipta atau implementasi), dan Processing
(pengolahan). Selanjutnya dkemukakan bahwa PBL mendukung pelaksanaan mencapai
tujuan pembelajaran biologi, mengingat PBL merupakan pembelajaran yang
komprehensif mengikutsertakan siswa melakukan investigasi secara kolaboratif.
PBL membantu siswa dalam belajar pengetahuan dan ketrampilan yang kokoh yang
dibangun melalui tugas-tugas dan pekerjaan otentik. Situasi belajar,
lingkungan, isi, dan tugas-tugas yang relevan, realistik, otentik, dan
menyajikan kompleksitas alami dunia nyata mampu memberikan pengalaman pribadi siswa terhadap obyek siswa
dan informasi yang diperoleh siswa membawa pesan sugestif cukup kuat.
Begitu juga mengajar
bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru ke murid, melainkan suatu
kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Ini sesuai
dengan Pembelajaran Berbasis proyek yang notabene lebih menekankan pada siswa
melakukan dan menemukan.
b.
Karakteristik Project
Based Learning
Menurut Thomas (2000, dalam Isriani, 2012: 127-128) fokus
pembelajaran terletak pada prinsip dan konsep inti dari suatu disiplin ilmu,
melibatkan siswa dalam investigasi pemecahan masalah dan kegiatantugas-tugas
bermakna yang lain, memberi kesempatan siswa bekerja secara otonom dalam
mengontruksi pengetahuan mereka sendiri, dan mencapai puncaknya untuk
menghasilkan produk nyata.
c.
Prinsip-prinsip Project
Based Learning
Sedikitnya ada lima prinsip pembelajaran berbasis proyek
menurut Thomas seperti dikutip Wena (2011, dalam Isriani, 2012: 128), antara
lain:
a) Prinsip Sentralisk
Prinsip sentralis
menegaskan bahwa kerja proyek merupakan esensi dari kurikulum.
b)
Prinsip pertanyaan pendorong
Prinsip ini merupakan external
motivation yang mampu menggugah kemandiriannya dalam mengajarkan
tugas-tugas pembelajaran
c)
Prinsip Otonom
Merupakan kemandirian
siswa dalam melaksanakan proses pembelajaran .
d)
Prinsip Realistis
Prinsip mengatakan bahwa
proyek merupakan sesuatu yang nyata, bukan seperti di sekolah.
d.
Manfaat Project Based Learning
Menurut Moursund seperti dikutip dalam Isriani (2012: 130-131) beberpa keuntungan dari
pembelajaran berbasis proyek, antara lain sebagai berikut:
a. Increased motivation. Pembelajaran berbasis proyek terbukti dapat
meningkatkan motivasi belajar siswa.
b. Increased problem-solving
ability. Pembelajaran berbasis
proyek dapat meningkaatkan kemampuan memecahkan masalah, membuat siswa lebih
aktif dan berhasil memecahkan problem-problem yang bersifat komplek
c. Improved library research
skills. Dengan pembelajaran
berbasis proyek keterampilan siswa untuk mencari dan mendapatkan informasi akan
meningkat
d. Increased collaboration. Siswa dapat mengembangkan dan mempraktikan
keterampilan komunikasi dan kerjasama.
e. Increased
resource-management skills. Pembelajaran berbasis proyek memberikan kepada siswa
pembelajaran dan praktik dalam mengorganisasi proyek dan membuat alokasi waktu
dan sumber-sumber lain seperti perlengkapan untuk mnyelesaikan tugas.
e.
Langkah-langkah Project
Based Learning
Stienberg seperti dikutip dalam Isriani (2012: 131-132) mengajukan enam strategi dalam
mendesain suatu proyek yangh disebut dengan The Six A’s of Designing Project,
yaitu sebagai berikut:
a) Authenticity (keautentikan)
b) Academic Rigor (ketaatan
terhadap nilai akademik)
c) Applied Learning (belajar
pada dunia nyata)
d) Active Exploration (aktif
meneliti)
e) Adult relationship
(hubungan dengan ahli)
f) Assesment (Penilaian)
Keenam langkah evaluatif tersebut dapat
dijadikan pedoman dalam merancang suatu bentuk pembelajaran berbasis proyek.
Dengan mengacu pada standar tersebut, pembelajaran berbasis proyek yang
dilakukan oleh siswa lebih bermakna bagi pemngembangan dirinya (Isriani dan
Dewi, 2012: 132).
D. Inquiry
Based Learning
a.
Pengertian Inqury Based Learning
Metode Inquiry merupakan proses pembelajaran dibangun
atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan siswa. Di sini para siswa didorong
untuk berkolaborasi untuk memecahkan masalah, dan bukannya sekedar menerima
instruksi langsung dari gurunya. Tugas guru dalam lingkungan belajar berbasis
pertanyaan ini bukanlah untuk menyediakan pengetahuan, namun membantu siswa
menjalani proses menemukan sendiri pengetahuan yang mereka cari. Jadi, guru
berfungsi sebagai fasilitator dan bukan sumber jawaban.
Inquiry Based Learning (IBL) didasari atas pemikiran John
Dewey, seorang pakar pendidikan Amerika, yang mengatakan bahwa pembelajaran,
perkembangan, dan pertumbuhan seorang manusia akan optimal saat mereka
dikonfrontasikan dengan masalah nyata dan substantif untuk dipecahkan. Ia
percaya bahwa kurikulum dan instruksi seharusnya didasarkan pada tugas dan
aktivitas berbasis komunitas yang integratif dan melibatkan para pembelajar
dalam tindakan-tindakan sosial pragmatis yang membawa manfaat nyata pada dunia
(Trisna, 2013:7).
b.
Sifat-sifat Inquiry Based Learning
Sifat-sifat yang ingin dimunculkan dari para siswa dalam
lingkungan IBL ini, menurut Neil Postman dan Charles Weingartner dalam Nuhardi,
dkk, (2009:9) adalah:
1.
Percaya diri terhadap kemampuan
belajarnya.
2.
Senang saat berusaha memecahkan masalah.
3.
Percaya pada penilaian sendiri dan tidak
sekedar bergantung pada penilaian orang lain maupun lingkungan.
4.
Tidak takut menjadi salah.
5.
Tidak ragu dalam menjawab.
6.
Fleksibilitas pandangan.
7.
Menghargai fakta dan mampu membedakan
antara fakta dan opini.
8.
Tidak merasa perlu mendapat jawaban
final untuk semua pertanyaan dan lebih merasa nyaman saat tidak mengetahui
jawaban dari pertanyaan sulit daripada sekedar menerima jawaban yang terlalu
disederhanakan
c.
Manfaat Inquiry Based Learning
a)
IBL adalah pendekatan yang baik dalam
proses belajar mengajar untuk memberi siswa kesempatan belajar dengan lebih
bebas namun juga tetap mengenalkan dan mendidikkan keahlian-keahlian dasar.
b)
IBL bersifat fleksibel dan cocok untuk
bermacam-macam proyek mulai dari yang sangat terbatas sampai yang ekstensif,
mulai dari yang berorientasi riset sampai yang kreatif, di dalam laboratorium
ataupun di internet.
c)
Dalam banyak kasus, siswa yang
bermasalah di sekolah formal karena tidak merespon terhadap proses menyerap
maupun mengingat kembali pelajaran malah bisa bersinar dalam lingkungan kelas
IBL, membangun rasa percaya diri, minat, dan harga diri mereka.
d)
IBL memungkinkan untuk melakukan
pembelajaran multidisiplin secara langsung. Jika di kelas konvensional, siswa
belajar matematika sebentar, lalu belajar geografi, lalu belajar seni, dan
lain-lain, maka di kelas IBL, karena berbasis pertanyaan dan proyek, maka siswa
bisa dan bahkan perlu belajar dari beberapa subjek sekaligus.
e)
Kelas IBL memungkinkan siswa mendapat
pembelajaran secara fisik, emosi, dan kognitif.
f)
IBL cocok untuk mengajarkan pembelajaran
kolaboratif. Siswa diajarkan saling berinteraksi dan berkolaborasi untuk
memecahkan masalah.
g)
IBL cocok untuk segala usia. Walaupun
siswa yang lebih dewasa bisa mengajukan pertanyaan dan proyek yang lebih
canggih dan berbobot, namun semangat mengajukan pertanyaan dan aktivitas
mengejar jawabannya bisa juga diterapkan pada siswa-siswa yang lebih muda.
h)
Pendekatan IBL menyadari bahwa tiap anak
telah membawa pengalaman dan pengetahuannya sendiri ke dalam kelas dan justru
membawa manfaat bagi pembelajaran kolektif. Bila di kelas konvensional, semua
siswa mendapat pengajaran yang standar dan telah ditentukan oleh kurikulum, tidak
peduli latar belakang siswa.
d.
Komponen
Inquiry Based Learning
Komponen pembelajaran
yang efektif meliputi:
v Konstruktivisme,
konsep ini yang menuntut siswa untuk menyusun dan membangun makna atas
pengalaman baru yang didasarkan pada pengetahuan tertentu. Pengetahuan dibangun
oleh manusia sedikit demi sedikit, hasilnya diperluas melalui konteks yang
terbatas dan tidak secara tiba-tiba. Strategi pemerolehan pengetahuan lebih
diutamakan dibandingkan dengan seberapa banyak siswa mendapatkan dari atau
mengingat pengetahuan.
v Tanya
jawab, dalam konsep ini kegiatan tanya jawab yang dilakukan baik oleh guru
maupun oleh siswa. Pertanyaan guru digunakan untuk memberikan kesempatan kepada
siswa untuk berpikir secara kritis dan mengevaluasi cara berpikir siswa,
sedangkan pertanyaan siswa merupakan wujud keingintahuan. Tanya jawab dapat
diterapkan antara siswa dengan siswa, guru dengan siswa, siswa dengan guru,
atau siswa dengan orang lain yang didatangkan ke kelas.
v Inkuiri,
merupakan siklus proses dalam membangun pengetahuan/konsep yang bermula dari
melakukan observasi, bertanya, investigasi, analisis, kemudian membangun teori
atau konsep. Siklus inkuiri meliputi: observasi, tanya jawab, hipoteis,
pengumpulan data, analisis data, kemudian disimpulkan.
v Komunitas
belajar, adalah kelompok belajar atau komunitas yang berfungsi sebagai wadah
komunikasi untuk berbagi pengalaman dan gagasan. Prakteknya dapat berwujud
dalam pembentukan kelompok kecil atau kelompok besar serta mendatangkan ahli ke
kelas, bekerja dengan kelas sederajat, bekerja dengan kelas di atasnya, dan
bekerja dengan masyarakat.
v Pemodelan,
dalam konsep ini kegiatan mendemontrasikan suatu kinerja agar siswa dapat
mencontoh, belajar atau melakukan sesuatu sesuai dengan model yang diberikan.
Guru memberi model tentang how to learn (cara belajar) dan guru bukan
satu-satunya model dapat diambil dari siswa berprestasi atau melalui media
cetak dan elektronik.
v Refleksi,
yaitu melihat kembali atau merespon suatu kejadian, kegiatan dan pengalaman
yang bertujuan untuk mengidentifikasi hal yang sudah diketahui, dan hal yang
belum diketahui agar dapat dilakukan suatu tindakan penyempurnaan. Adapun
realisasinya adalah pertanyaan langsung tentang sesuatu yang diperolehnya hari
itu, catatan dan jurnal di buku siswa, kesan dan saran siswa mengenai
pembelajaran pada hari itu, diskusi dan hasil karya.
v Penilaian
otentik, prosedur penilaian yang menunjukkan kemampuan (pengetahuan,
ketrampilan sikap) siswa secara nyata. Penekanan penilaian otentik adalah pada
pembelajaran seharusnya membantu siswa agar mampu mempelajari sesuatu, bukan
pada diperolehnya informasi di akhir periode, kemajuan belajar dinilai tidak
hanya pada hasil tetapi lebih pada prosesnya dengan berbagai cara, menilai
pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh siswa.
Penerapan CTL dalam pembelajaran
Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri dan mengonstruksi sendiri pengetahuan dan ketrampilan baru. Lakukan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik. Kembangkan sifat keingintahuan siswa dengan cara bertanya. Ciptakan masyarakat belajar (belajar dalam kelompok-kelompok). Hadirkan model sebagai contoh dalam pembelajaran. Lakukan refleksi pada akhir pertemuan. Lakukan penilaian otentik yang betul-betul menunjukkan kemampuan siswa.
Penerapan CTL dalam pembelajaran
Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri dan mengonstruksi sendiri pengetahuan dan ketrampilan baru. Lakukan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik. Kembangkan sifat keingintahuan siswa dengan cara bertanya. Ciptakan masyarakat belajar (belajar dalam kelompok-kelompok). Hadirkan model sebagai contoh dalam pembelajaran. Lakukan refleksi pada akhir pertemuan. Lakukan penilaian otentik yang betul-betul menunjukkan kemampuan siswa.
E. Action
Learning
a.
Sejarah Action Learning
Istilah
Action Learning kerap digunakan untuk menjelaskan berbagai variasi
kegiatan training interaktif. Konsep ini sebenarnya sudah berumur 60 tahun lebih
tetapi dinilai masih relevan dengan kondisi saat ini.
Berikut
ini adalah sebuah catatan ringkas bagaimana gagasan Action Learning
dilahirkan dan disebarluaskan. Pada 1912, seorang anggota Badan Penyelidik
Inggris, yang melakukan investigasi atas tenggelamnya kapal penumpang raksasa
Titanic, menemukan bahwa ternyata para insinyur Titanic sama sekali tidak
memperdulikan masalah keamanan kapal raksasa itu pada saat kapal itu dibangun.
Ia
kemudian menceritakan temuan itu kepada anaknya, Reg Evans, yang kemudian
bekerja sebagai pakar fisika di Cavendish Laboratory. Sang anak kemudian
mengubah cara berinteraksi para peneliti saat bekerja. Mereka bekerja dengan
cara interaktif melalui saling bertanya dengan pertanyaan-pertanyaan kritis,
memecahkan masalah secara kolaborasi. Hasilnya, laboratorium ini berhasil
menemukan inovasi-inovasi baru di bidang fisika tehnik.
Pada
1945, saat Reg Revans bekerja sebagai Direktur Pendidikan dan Pelatihan Badan
Pertambangan Batubara Nasional Kerajaan Inggris, dia menggunakan pengalamannya
untuk membentuk tim kecil yang beranggotakan 4-5 manajer untuk memecahkan
masalah yang dihadapi organisi. Tim itu secara periodik melakukan konsultansi
antar-anggota tim. Tim-tim ini berhasil memecahkan banyak masalah melalui
proses saling memberikan konsultansi. Kemudian Revans memberikan label proses
ini sebagai Action Learning yang digunakan untuk memecahkan masalah dan
mengembangkan kapasitas manusia di berbagai organisasi. Bagaimana pun juga, Action
Learning masih diabaikan oleh pada pelatih dan konsultan sampai 1970-an.
Ketika banyak industri semakin menjamur di berbagai negara di dunia, Action
Learning dihidupkan kembali dan menjadi alat manajemen yang ampuh (Endang,
2009).
b. Langkah-Langkah Action Learning
Berikut
ini adalah 3 faktor utama yang berkaitan dengan proses Action Learning.
a) Task.
Masalah
yang menantang adalah jantung pada semua proses Action Learning.
Tantangan ini hendaknya berkaitan dengan tugas-tugas yang nyata, bukan suatu
tugas yang disimulasikan (yang kemudian direfleksikan pada kegiatan
sehari-hari). Task hendaknya memiliki nilai-nilai strategik dan konsekuensi
jangka panjang bagi keseluruhan organisasi serta berdampak pada keseluruhan
organisasi. Task bukan sebuah tugas yang bisa dituntaskan oleh prosedur standar
yang telah ada tetapi membutuhkan kreasi dan aplikasi pendekatan-pendekatan
yang baru.
b) Team.
Action
Learning dikerjakan oleh tim yang beranggotakan 4 sampai 8
orang. Anggota tim diusahakan memiliki latar belakang berbeda agar menjamin
proses belajar yang maksimum. Anggota tim hendaknya menggambarkan perbedaan
tugas, budaya, kepribadian, cara berfikir dan gaya belajar.
c) Thoughtful
action. Kegiatan Action
Learning yang efektif sebaiknya seimbang antara teamwork dan team learning.
Proses ini membutuhkan tata waktu dan berbagai alat bantu yang memadai sehingga
anggota tim bisa menjalankan pekerjaannya, melakukan refleksi atas proses,
memperoleh prinsip-prinsip dan pemahaman baru serta saling berbagi peran di
antara anggota tim.
c. Manfaat
Action Learning
a) Ownership.
Karena tim muncul dengan sebuah rencana yang akan segera dilakukan, maka
anggota tim merasa memiliki pada apa yang akan dikerjakan dibandingkan dengan
tugas-tugas yang dibuat dari atas.
b) Creativity.
Keragaman
anggota tim Action Learning menjamin perbedaan cara pandang. Karena
tantangan yang dihadapi relatif besar maka akan muncul rasa menjadi sebuah tim.
Faktor ini membuat ide-ide lebih kreatif dibandingkan yang dihasilkan oleh
individu atau komite yang anggotanya homogen.
c) Communication.
Tim
Action Learning yang lintas fungsional meningkatkan dan memperbaiki
komunikasi antar kelompok yang berbeda-beda. Dengan memperkuat sebuah tim Action
Learning untuk mampu mengambil keputusan dan melakukan tindakan yang pas,
kita sedang mendorong—dan memberikan penghargaan—kepada anggota tim untuk
saling berbicara yang terfokus pada keseluruhan organisasi daripada berbicara
untuk satu bagian saja.
d) Personal
growth. Action Learning mengubah baik
organisasi maupun individu. Pada sisi pribadi, orang belajar pengetahuan dan
ketrampilan baru yang berkenaan dengan pekerjaannya. Mereka secara khusus
memperoleh ketrampilan interpersonal berkenaan dengan leadership, teamwork,
keragaman dan pengambilan keputusan. Anggota kelompok memperoleh manfaat dari
pandangan yang lebih luas tentang organisasi dan belajar bagaimana berbagai
upaya orang untuk berkontribusi pada —dan memperoleh manfaat dari—usaha tim,
bagian, organisasi dan komunitas di sekitar organisasi.
e) Application. Berbeda dengan belajar
di dalam kelas atau web-based learning, Action Learning memproduksi
pengetahuan dan ketrampilan yang benar-benar bisa digunakan dalam pekerjaan. Action
Learning mengandung semua keunggulan pada On the Job Training (OTJ). Pada
banyak kasus, keunggulan Action Learning melampaui OTJ karena Action
Learning melibatkan lebih banyak tantangan-tantang yang strategik yang
dikonfrontasikan pada keseluruhan organisasi sebagai sistem total (Satyasa,
2003).
F. Progressive
Inquiry
a.
Pengantar
Progressive Inquiry
Sebuah
tujuan utama pendidikan masa kini adalah untuk mempersiapkan peserta didik
untuk pengetahuan muncul masyarakat melalui praktek pedagogis yang sesuai; itu
tidak cukup untuk berkonsentrasi pada konten penguasaan dalam beberapa domain
subjek tetapi untuk memberikan para siswa dengan keterampilan penciptaan
pengetahuan dan pemecahan masalah. Praktek pedagogis yang dianggap untuk
meningkatkan kemampuan ini termasuk fitur seperti kepemilikan dan keterlibatan
siswa aktif; kolaborasi antara peserta: kegiatan mencari , berbagi, dan
mengelaborasi pengetahuan ,bekerja dengan otentik , masalah tidak jelas,
Berpikir kritis pada aktivitas murid dan guru. berubah peran dari memberikan
pengetahuan untuk mengatur , membimbing dan menilai siswa.
b.
Pengertian
Progressive Inquiry
Progressive
Inquiry sebagai kerangka kerja pedagogis dan epistemologis untuk mendukung guru
dan siswa dalam melakukan aktivitasnya untuk memfasilitasi keahlian seperti
bekerja dengan pengetahuan. sekarang terutama didasarkan pada teori Building
Knowledge, pada Model progressive
Inquiry ini.
c.
Komponen
Progressive Inquiry
Keahlian
bersama: Semua tahapan proses harus dibagi di antara peserta , biasanya dengan
menggunakan teknologi kolaboratif . Keanekaragaman dalam keahlian di antara
peserta , dan interaksi dengan sumber informasi dan / atau budaya ahli ,
mempromosikan pengetahuan kemajuan. Ini mencakup tanggung jawab bersama
kognitif keberhasilan penyelidikan.
a) Menciptakan
Konteks: Pada awal proses, konteks untuk proyek
ini bersama-sama dibuat dalam rangka untuk jangkar masalah yang diselidiki
dalam prinsip-prinsip konseptual pusat dari domain atau kompleks masalah di
dunia nyata . Masyarakat belajar didirikan oleh gabungan perencanaan dan
menetapkan tujuan umum . Hal ini penting untuk menciptakan budaya belajar yang
mendukung berbagi pengetahuan kolaboratif.
b) Menyiapkan
pertanyaan penelitian: Sebuah aspek penting dari
penyelidikan progresif adalah untuk menghasilkan masalah siswa sendiri dan
pertanyaan untuk mengarahkan penyelidikan . Penjelasan pertanyaan – mencari (
Kenapa ? Bagaimana ? Apa ? ) Sangat berharga. Komunitas pembelajaran harus
didorong untuk fokus pada pertanyaan yang berbasis pengetahuan dan berdasarkan
hasil upaya dari pemahaman siswa sendiri dan kebutuhan untuk memahami. Sangat
penting bahwa siswa datang untuk memperbaiki belajar sebagai proses pemecahan
masalah yang mencakup masalah pengalamatan dalam memahami konstruksi teoritis ,
metode , dan praktek-praktek budaya ilmiah.
c) Membangun
teori-teori kerja: Sebuah kondisi penting untuk
mengembangkan pemahaman konseptual adalah generasi hipotesis siswa sendiri ,
teori , atau interpretasi dari fenomena.
d.
Tujuan
Progressive Inquiry
Menurut Laka-laka (2008) ”being investigated. It is important that students explain phenomena with their own existing
background knowledge before using other information sources, and openly share these explanations in the learning community. This serves a number of goals: first, to make visible the prior (intuitive) conceptions of the issues at hand. Secondly, in trying to explain to others,
students effectively test the coherence of their own understanding, and make the gaps and
contradictions in their own knowledge more apparent. Thirdly, it serves to create a culture in which knowledge is treated as an essentially evolving object. Thoughts and ideas presented are not final and unchangeable, but rather utterances in an ongoing discourse. ”Jadi dinyatakan bahwa
“Penyelidikan. Adalah penting bahwa siswa menjelaskan fenomena dengan latar
belakang pengetahuan mereka yang ada sebelum menggunakan sumber-sumber
informasi lainnya, dan secara terbuka berbagi penjelasan-penjelasan ini dalam
komunitas belajar . Ini melayani sejumlah tujuan:
1. Untuk
membuat terlihat sebelum ( intuitif ) konsepsi masalah di tangani.
2. Dalam
mencoba untuk menjelaskan kepada orang lain, siswa secara efektif menguji
koherensi pemahaman mereka sendiri , dan membuat kesenjangan dankontradiksi
dalam pengetahuan mereka sendiri lebih jelas.
3. Berfungsi
untuk menciptakan budaya dimana pengetahuan diperlakukan sebagai objek dasarnya
berkembang . Pikiran dan gagasan yang disampaikan belum final dan tidak dapat
diubah, melainkan ucapan-ucapan dalam wacana yang sedang berlangsung.”
e.
Langkah-langkah
Progressive Inqury
1.
Evaluasi
kritis: Evaluasi Kritis alamat kebutuhan untuk menilai
kekuatan dan kelemahan teori yang berbeda dan penjelasan yang dihasilkan ,
dalam rangka untuk mengarahkan dan mengatur upaya kognitif bersama komunitas
pembelajaran dan evaluasi dari proses itu sendiri . kritis Evaluasi adalah cara
untuk membantu masyarakat untuk naik di atas prestasi dengan menciptakan
sintesis tingkat yang lebih tinggi dari hasil awal dari proses penyelidikan
2.
Mencari
meperdalam pengetahuan: Siswa seharusnya mengeksplorasi
berbagai sumber informasi untuk menemukan jawaban atas pertanyaan mereka .
Perbandingan intuitif menghasilkan kerja teori dengan pengetahuan para ahli
mapan atau teori-teori ilmiah cenderung membuat kelemahan konsepsi masyarakat
eksplisit. Sumber informasi harus digunakan dengan cara elaborative dan
evaluatif bukan menyalin informasi seperti itu. Guru memutuskan berapa banyak
bahan harus ditawarkan kepada para siswa , dan berapa banyak siswa sendiri
harus benar-benar mencari untuk bahan . Pertanyaan yang berasal dari heran
benar pada bagian dari siswa dapat dengan mudah memperluas lingkup materi di
luar apa yang guru telah diramalkan atau disarankan. Di sisi lain , pencarian
yang relevan bahan memberikan kesempatan yang baik untuk penyelidikan mandiri
dan tangan-pada praktek ketika berjuang untuk memahami perbedaan antara
berbagai konsep dan teori.
3.
Membangkitkan
pertanyaan bawahan: Proses penyelidikan kemajuan melalui
transformasi awal pertanyaan besar dan tidak spesifik ke pertanyaan bawahan dan
lebih spesifik atas dasar evaluasi dari pengetahuan yang dihasilkan . Perumusan
pertanyaan bawahan refocuses penyelidikan.
4.
Mengembangkan
teori-teori kerja baru: Pertanyaan baru dan pengetahuan
ilmiah dan / atau ahli bahwa peserta mengeksplorasi kenaikan memberi
teori-teori baru dan penjelasan . Proses ini juga termasuk penerbitan ringkasan
dan kesimpulan penyelidikan suatu komunitas . Jika semua produksi ke database
bersama dalam lingkungan kolaboratif telah bermakna terorganisir , peserta
harus memiliki akses yang mudah ke produksi sebelum dan teori , membuat
pengembangan penjelasan proses terlihat.
G. Service
Learning
a.
Pengertian Service Learning
Pembelajaran
berbasis Service merupakan salah satu bagian dari strategi pembelajaran
kontekstual. Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL)
merupakan suatu proses pendidikan yang holistik dan bertujuan memotivasi siswa
untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengaitkan
materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi,
sosial, dan kultural) sehingga siswa memiliki pengetahuan/keterampilan yang
secara fleksibel, sehingga dapat diterapkan dari satu permasalahan atau
konteks, ke permasalahan atau konteks lainnya.
b.
Ciri-Ciri Service Learning
Seperti
yang telah kita ketahui di atas, bahwa pembelajaran berbasis jasa layanan
merupakan salah satu bentuk nyata dari pembelajaran kontekstual. Oleh karena
itu, ciri-ciri pembelajaran Service Learning harus sesuai dengan cirri-ciri
pembelajaran kontekstual. Ciri-ciri tersebut antara lain:
a)
Melakukan hubungan yang bermakna (making meaningful
connections)
Keterkaitan yang mengarah pada makna adalah jantung dari pembelajaran dan pengajaran kontekstual. Ketika siswa dapat mengkaitkan isi dari mata pelajaran akademik, ilmu pengetahuan alam atau sejarah dengan pengalamannya mereka sendiri, berarti mereka menemukan makna, dan makna memberi mereka alasan untuk belajar. Mengkaitkan pembelajaran dengan kehidupan seseorang membuat proses belajar menjadi hidup dan keterkaitan inilah inti dari CTL
Melakukan kegiatan-kegiatan yang berarti (doing significant works)
Pembelajaran ini menekankan bahwa semua proses pembelajaran yang dilakukan di dalam kelas harus punya arti bagi siswa sehingga mereka dapat mengkaitkan materi pelajaran dengan kehidupan siswa.
Keterkaitan yang mengarah pada makna adalah jantung dari pembelajaran dan pengajaran kontekstual. Ketika siswa dapat mengkaitkan isi dari mata pelajaran akademik, ilmu pengetahuan alam atau sejarah dengan pengalamannya mereka sendiri, berarti mereka menemukan makna, dan makna memberi mereka alasan untuk belajar. Mengkaitkan pembelajaran dengan kehidupan seseorang membuat proses belajar menjadi hidup dan keterkaitan inilah inti dari CTL
Melakukan kegiatan-kegiatan yang berarti (doing significant works)
Pembelajaran ini menekankan bahwa semua proses pembelajaran yang dilakukan di dalam kelas harus punya arti bagi siswa sehingga mereka dapat mengkaitkan materi pelajaran dengan kehidupan siswa.
b)
Belajar yang diatur sendiri (self-regulated Learning). Pembelajaran
yang diatur sendiri, merupakan pembelajaran yang aktif, mandiri, melibatkan
kegiatan menghubungkan masalah ilmu dengan kehidupan sehari-hari dengan
cara-cara yang berarti bagi siswa. Pembelajaran yang diatur siswa sendiri,
memberi kebebasan kepada siswa menggunakan gaya belajarnya sendiri.
c)
Bekerjasama (collaborating). Siswa dapat bekerja sama. Guru
membantu siswa bekerja secara efektif dalam kelompok, membantu siswa bekerja
secara efektif dalam kelompok, membantu mereka memahami bagaimana mereka saling
mempengaruhi dan saling berkomunikasi.
d)
Berpikir kritis dan kreatif (critical dan creative thinking)
Pembelajaran kontekstual membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir tahap tinggi, berpikir kritis dan berpikir kreatif. Berpikir kritis adalah suatu kecakapan nalar secara teratur, kecakapan sistematis dalam menilai, memecahkan masalah, menarik keputusan, memberi keyakinan, menganalisis asumsi dan pencarian ilmiah. Berpikir kreatif adalah suatu kegiatan mental untuk meningkatkan kemurnian serta ketajaman pemahaman dalam mengembangkan sesuatu
Pembelajaran kontekstual membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir tahap tinggi, berpikir kritis dan berpikir kreatif. Berpikir kritis adalah suatu kecakapan nalar secara teratur, kecakapan sistematis dalam menilai, memecahkan masalah, menarik keputusan, memberi keyakinan, menganalisis asumsi dan pencarian ilmiah. Berpikir kreatif adalah suatu kegiatan mental untuk meningkatkan kemurnian serta ketajaman pemahaman dalam mengembangkan sesuatu
e)
Mengasuh atau memelihara pribadi siswa (nuturing the
individual)
Dalam pembelajaran kontekstual siswa bukan hanya mengembangkan kemampuan-kemampuan intelektual dan keterampilan, tetapi juga aspek-aspek kepribadian: integritas pribadi, sikap, minat, tanggung jawab, disiplin, motif berprestasi, dan sebagainya. Guru dalam pembelajaran kontekstual juga berperan sebagai konselor dan mentor. Tugas dan kegiatan yang akan dilakukan siswa harus sesuai dengan minat, kebutuhan dan kemampuannya.
Dalam pembelajaran kontekstual siswa bukan hanya mengembangkan kemampuan-kemampuan intelektual dan keterampilan, tetapi juga aspek-aspek kepribadian: integritas pribadi, sikap, minat, tanggung jawab, disiplin, motif berprestasi, dan sebagainya. Guru dalam pembelajaran kontekstual juga berperan sebagai konselor dan mentor. Tugas dan kegiatan yang akan dilakukan siswa harus sesuai dengan minat, kebutuhan dan kemampuannya.
f)
Mencapai standar yang tinggi (reaching high standards)
Pembelajaran kontekstual diarahkan agar siswa berkembang secara optimal, mencapai keunggulan (excellent). Tiap siswa bisa mencapai keunggulan, asalkan dia dibantu oleh gurunya dalam menemukan potensi dan kekuatannya.
Pembelajaran kontekstual diarahkan agar siswa berkembang secara optimal, mencapai keunggulan (excellent). Tiap siswa bisa mencapai keunggulan, asalkan dia dibantu oleh gurunya dalam menemukan potensi dan kekuatannya.
g)
Menggunakan penilaian yang autentik (using authentic
assessment)
Penilaian autentik menantang para siswa untuk menerapkan informasi dan keterampilan akademik baru dalam situasi nayata untuk tujuan tertentu. Penilaian autentik merupakan antitesis dari ujian standar, penilaian autentik memberi kesempatan kepada siswa untuk menunjukkan kemampuan terbaik mereka sambil mempertunjukkan apa yang sudah mereka pelajari (Gunawan, 2013).
Penilaian autentik menantang para siswa untuk menerapkan informasi dan keterampilan akademik baru dalam situasi nayata untuk tujuan tertentu. Penilaian autentik merupakan antitesis dari ujian standar, penilaian autentik memberi kesempatan kepada siswa untuk menunjukkan kemampuan terbaik mereka sambil mempertunjukkan apa yang sudah mereka pelajari (Gunawan, 2013).
c.
Langkah-langkah Service
Learning
Penjelasan-penjelasan
di atas merupakan ciri-ciri pembelajaran kontekstual, dari ciri-ciri tersebut
dapat diambil kesimpulan bahwa pembelajaran berbasis service learning
mengandung ciri bahwa dan dapat di ambil langkah sebagai berikut:
a)
Melakukan hubungan yang bermakna, hal ini diwujudkan dengan
kerjasama kelompok yang dilakukan dalam menyelesaikan tugas terstruktur.
b)
Bekerja sama guna penerapan praktis dari pengetahuan yang
baru diketahui siswa.
c)
Melakukan kegiatan-kegiatan yang berarti melalui kegiata yang
beranfaat untuk memenuhi kebutuhan dalam masyarkat( jasa layanan yang berkaitan
dengan tugas terstruktur.
d.
Karakteristik pembelajaran
berbasis service learning
a)
Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok kecil.
Setiap kelompok beranggotakan 5 orang.
b)
Setiap kelompok diberi materi yang harus
dipakai untuk memfasilitasi pembelajaran. Untuk mata pelajaran Bahasa Inggris
pembagian materi bisa berdasarkan jenis teks (description, recount,
narrative, procedure, report dan short functional text).
c)
Siswa bekerja dalam kelompok merancang
pembelajaran yang akan mereka sampaikan.
d)
Siswa melakukan presentasi secara bergantian.
e.
Manfaat pembelajaran
berbasis service learning
a)
Melakukan hubungan yang bermakna (making meaningful
connections)
b)
Melakukan kegiatan belajar yang lebih berarti
c)
Siswa akan terbiasa belajar mandiri
d)
Siswa terbiasa melakukan kerjasama (collaborating)
e)
Berpikir kritis dan kreatif
f)
Menciptakan kepribadian siswa yang positif
g)
Pembelajaran kontekstual diarahkan agar siswa berkembang
secara optimal, mencapai keunggulan.
BAB
III
PENUTUP
v Kesimpulan
Pembelajaran sebagai bagian integral dari
pendidikan harus mampu melaksanakan proses pembelajaran yang berkualitas yang
dnikmati oleh setiap warga. Konsep pendidikan untuk semua (education for all), mengandung makna bahwa pendidikan harus mampu melayani dan mengembangkan
siswa sesuai dengan potensi, minat dan bakat yang dimilikinya. Agar tujuan
pendidikan tersebut bisa tercapai maka kita bisa menggunakan beberapa bagian
model micro tergantung latar belakang dan tujuan dan masalah yang sedang
dihadapi. Di antaranya model micro Learining by Teaching, Problem Based
Learning, Project Based Learning, Inquiry Based Learning, action Learning, Progressive Inquiry, dan Service Learning.
Dimana semua bagian diatas mungkin ada sedikit perbedaan dari masing-masing model
pemlajaran tersebut, baik dari tujuan, ciri-ciri, langkah-langkah dan manfaat
secara khusus. Namun perbedaan tersebut tidak menutupi kemungkinan bahwa semua
bagian dari model micro ini mempunyai tujuan yang sama, yaitu untuk
meningkatkan kualitas dan kauntitas belajar, kemadirian, berpikir kritis,
kreatif, berkolaborasi atau kerjasama yang baik dan terarah, mempunyai
kepribadian yang positif, dan untuk meningkatkan prestasi belajar siswa yang
memuaskan.
DAFTAR PUSTAKA
Ayu
Sri S. 2013. Makalah Penerapan Model
Micro. Program studi s3 teknologi Pembelajaran. Program Pascasarjana
Universitas Negeri Malang. www. smarttech.com
Endang
S. 2013. Pembelajaran Action Learning. Diakses pada Juli 2009. http://www.ndang.um.com
Gunawan
Eko. 2013. Pembelajaran Berbasis Layanan.
Diakses Desember 2013, http://ras_eko.com
Hardini, Isriani dan Dewi Puspitasari. 2012. Strategi
Pembelajaran Terpadu (Teori, Konsep dan Implementasinya). Yogyakarta:
Familia.
Harsono, dkk. 2005. Pembelajaran
Berpusat Mahasiswa. Pusat Pengembangan Pendidikan Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta
Laka-laka Minna. 2008. Journal Priciples Progressive
Inquiry. Centre of Research on Networked Learning and Knowledge Building,
Departement of Psychology, University of Helsinky, Finland. Diakses Juni 2008,
http://www.minna.laklaka@helsinky.fi
Mahanal, Susriyati, dkk. 2009. Pengaruh Pembelajaran Project Based Learning (PjBL) pada
Materi Ekosistem terhadap Sikap dan Hasil Belajar Siswa SMAN 2 Malang. Malang: Jurnal
Universitas Negeri Malang. Di akses pada November 2011. http://.jurnal.um/pbl/php.com
Nuhardi,
Senduk, Agus Gerrad. 2003. Pembelajaran
Kontekstual (CTL) dan penerapanya dalam KBK. Universitas Negeri Malang.
Malang. Diakses pada pada Agustus 2003, http://www. Ctl-unm.com
Suheman. 2003. Proses
belajar mengajar keterampilan dasar micro. Bandung. Remaja Karya
Sukirman D (2012) Micro
Teaching. Subdit Kelembagaan Direktorat Pendidikan Islam Kemenerian RI.
Jakarta Pusat. www. diktis,kemeneg.go.id
Yuni F.A. 2012. Pembelajaran Problem Based Learning Terhadap
Pembelajaran IPA Kelas V. Universitas Kristen Satya Wacana. Semarang. www.pbl.uksw.com
Sanstyasa
I. W. 2003. Makalah Model-Model
Pembelajaran Inovatif. Diakses pada Mei 2013. http://is-wayan.com
Trisna
Mahardika. I.W. 2013. Penerapan Model Pembelajaran IBL (Inquiry
Based Learning) dengan Berbasis Model Diskusi Kelompok Kecil dalam Upaya
Meningkatkan Aktivitas dah Hasil Belajar
PKN pada Siswa Kelas VIII H. UNDIKSA. Singaraja. Diakses pada Agustus 2013.
http://trisna-armstronk.com
terimakasih... makalahnya sangat membantu tugas kuliah saya. semoga Allah memberikan balasan atas kebaikan anda. gomawooooo ^^,
BalasHapus